tanah longsor

faktor penyebab tanah longsor

1. Hujan
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November seiring meningkatnya intensitas hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Muncul-lah pori-pori atau rongga tanah, kemudian terjadi retakan dan rekahan tanah di permukaan. Pada saat hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak. Tanah pun dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor karena melalui tanah yang merekah itulah, air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Apabila ada pepohonan di permukaan, pelongsoran dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga berfungsi sebagai pengikat tanah.
2. Lereng terjal
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180 apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar.
3. Tanah yang kurang padat dan tebal
Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 meter dan sudut lereng > 220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor, terutama bila terjadi hujan. Selain itu, jenis tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek jika terkena air dan pecah jika udara terlalu panas.
4. Batuan yang kurang kuat
Pada umumnya, batuan endapan gunungapi dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah jika mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor apabila terdapat pada lereng yang terjal.
5. Jenis tata lahan
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

6. Getaran
Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempabumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak.

7. Susut muka air danau atau bendungan
Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.

8. Adanya beban tambahan
Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah.

9. Pengikisan/erosi
Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal.

10. Adanya material timbunan pada tebing
Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah.

11. Bekas longsoran lama
Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memilki ciri:
  • Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda.
  • Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur.
  • Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai.
  • Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah.
  • Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama.
  • Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil.
  • Longsoran lama ini cukup luas.

12. Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung)
Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri:
  • Bidang perlapisan batuan
  • Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar
  • Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat.
  • Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatkan air (kedap air).
  • Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat.
  • Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor.

13. Penggundulan hutan
Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang.

14. Daerah pembuangan sampah






Wilayah Rawan Tanah Longsor


WILAYAH RAWAN TANAH LONGSOR
Setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia. Setiap tahunnya kerugian yang ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar Rp 800 miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta.

Daerah yang memiliki rawan longsor
Jawa Tengah 327 Lokasi
Jawa Barat 276 Lokasi
Sumatera Barat 100 Lokasi
Sumatera Utara 53 Lokasi
Yogyakarta 30 Lokasi
Kalimantan Barat 23 Lokasi
Sisanya tersebar di NTT, Riau, Kalimantan Timur, Bali, dan Jawa Timur.

Tampak bahwa kejadian bencana dan jumlah korban bencana tanah longsor di Propinsi Jawa Barat lebih besar dibandingkan dengan propinsi lainnya. Hal demikian disebabkan oleh faktor geologi, morfologi, curah hujan, dan jumlah penduduk serta kegiatannya.

Pencegahan Terjadinya Bencana Tanah Longsor


Jangan mencetak sawah dan membuat kolam pada lereng bagian atas di dekat pemukiman (gb. Kiri) Buatlah terasering (sengkedan) [ada lereng yang terjal bila membangun permukiman (gb. kanan)
Segera menutup retakan tanah dan dipadatkan agar air tidak masuk ke dalam tanah melalui retakan. (gb. kiri) Jangan melakukan penggalian di bawah lereng terjal. (gb. kanan)
Jangan menebang pohon di lereng (gb. kiri) Jangan membangun rumah di bawah tebing. (gb. kanan)
Jangan mendirikan permukiman di tepi lereng yang terjal (gb.kiri) Pembangunan rumah yang benar di lereng bukit. (gb.kanan)
Jangan mendirikan bangunan di bawah tebing yang terjal. (gb.kiri) Pembangunan rumah yang salah di lereng bukit. (gb.kanan)
Jangan memotong tebing jalan menjadi tegak. (gb.kiri) Jangan mendirikan rumah di tepi sungai yang rawan erosi. (gb.kanan)

TAHAPAN MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR
Pemetaan
Menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana alam geologi di suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah kabupaten/kota dan provinsi sebagai data dasar untuk melakukan pembangunan wilayah agar terhindar dari bencana..

Pemeriksaan
Melakukan penyelidikan pada saat dan setelah terjadi bencana, sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penaggulangannya.
Pemantauan
Pemantauan dilakukan di daerah rawan bencana, pada daerah strategis secara ekonomi dan jasa, agar diketahui secara dini tingkat bahaya, oleh pengguna dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.
Sosialisasi
Memberikan pemahaman kepada Pemerintah Provinsi /Kabupaten /Kota atau Masyarakat umum, tentang bencana alam tanah longsor dan akibat yang ditimbulkannnya. Sosialisasi dilakukan dengan berbagai cara antara lain, mengirimkan poster, booklet, dan leaflet atau dapat juga secara langsung kepada masyarakat dan aparat pemerintah
Pemeriksaan bencana longsor
Bertujuan mempelajari penyebab, proses terjadinya, kondisi bencana dan tata cara penanggulangan bencana di suatu daerah yang terlanda bencana tanah longsor.

Ekosemen: Produksi Semen dari Sampah


Jepang, sebuah negeri penuh inovasi. Mungkin sebutan itu sangat sesuai sebagaimana Jepang menangani masalah sampah di negaranya. Setelah berhasil membuat sebuah airport berkelas internasional di Kobe yang dibangun di atas lapisan sampah dan menerapkan pembuatan pupuk dari sampah di berbagai hotel di Jepang, kini Jepang telah berhasil mengubah sampah menjadi produk semen yang kemudian dinamakan dengan ekosemen.

Ekosemen

Terminologi ekosemen dibentuk dari kata “ekologi” dan “semen”. Diawali penelitian di tahun 1992, para peneliti Jepang telah mempelajari kemungkinan memprosesan abu hasil pembakaran sampah dan endapan air kotor untuk dijadikan bahan pembuat semen. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa abu hasil pembakaran sampah mengandung unsur yg sama dengan bahan dasar semen pada umumnya. Pada tahun 1993, proyek itu dibiayai oleh Kementrian Perdangan Internasional dan Industri Jepang. Tahun 2001, pabrik pertama di dunia yang mengubah sampah menjadi semen resmi beroperasi di Chiba. Pabrik tersebut mampu memproduksi ekosemen sebanyak 110,000 ton/tahunnya. Sampah yang diubah menjadi abu yang kemudian diolah menjadi semen mencapai 62,000 ton/tahun sedangkan endapan air kotor dan residu abu industri yang diolah mencapai 28,000 ton/tahun.

Penggunaan Abu Insinerasi untuk semen

Penduduk Jepang membuang sampah, baik organik maupun anorganik, dengan jumlah sekitar 50 juta ton/tahun. Dari 50 ton/tahun tersebut, sampah yang dibakar (proses incineration) menjadi abu (incineration ash) ialah sekitar 37 ton/tahun. Sedangkan abu yang dihasilkan mencapai 6 ton per tahunnya. Abu inilah yang kemudian dijadikan sebagai bahan pembuat ekosemen. Abu dan endapan air kotor mengandung senyawa-senyawa yang diperlukan dalam pembentukan semen konvensional, yaitu senyawa-senyawa oksida seperti CaO, SiO2, Al2O3, dan Fe2O3. Karena itu, abu insinerasi dapat difungsikan sebagai pengganti tanah liat yang digunakan pada pembuatan semen konvensional [1].
Tabel 1. Komposisi senyawa pada abu insinerasi dan semen konvensional (ppm)

CaOSiO2Al2O3Fe2O3SO3Cl
Semen konvensional62-6520-253-53-42-350-100
Abu insenerasi12-3123-4613-294-71-4150000
Kebutuhan kandungan CaO yang masih belum terpenuhi pada abu insinerasi dapat dicukupi dengan penambahan batu kapur. Dalam pembuatan ekosemen, klorin dan logam berat yang terkandung pada abu insinerasi diekstrak menjadi artificial ore (Cu, Pb, dan lainnya) yang kemudian di-recyle untuk digunakan kembali.

Proses Pembuatan Ekosemen

Secara umum, produksi semen konvensional (Portland) meliputi pengeringan, penghancuran, dan pencampuran batu kapur, tanah liat, quartzite, serta bahan baku lainnya dan kemudian dibakar pada rotary klin. Prinsip produksi ekosemen pada dasarnya sama dengan prinsip pembuatan semen konvensional. Adapun perbedaannya terletak pada proses pembakaran dan pengolahan limbah.
  1. Persiapan
    Bahan baku (abu insenerasi, endapan air kotor rumah tangga, dan residu abu industri) diproses terlebih dahulu melalui pengeringan, penghancuran, dan pemisahan logam yang masih terkandung pada bahan baku.
  2. Penghancuran
    Setelah dikeringkan, bahan baku tersebut kemudian dihancurkan pada raw grinder atau drying mill bersamaan dengan batu kapur.
  3. Pencampuran
    Setelah dikeringkan dan dihancurkan, umpan dimasukkan ke dalam homogenizing tank bersamaan dengan fly ash (abu yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara) dan blast furnace slag (limbah yang dihasilkan industri besi). Penempatan dua homoginezing tank yang diilustrasikan dalam diagram dimaksudkan untuk mencampuran semua secara merata sehingga dapat menghasilkan komposisi yang diinginkan.
  4. Pembakaran
    Berbeda dengan produksi semen konvensional dimana bahan baku dibakar pada suhu 900oC, pada proses pembuatan ekosemen, bahan baku dimasukkan ke dalam rotary klin dan dibakar pada suhu diatas 1350oC. Dalam rotary kiln, dioksin dan senyawa berbahaya lainnya yang terkandung pada abu insenerasi akan terurai menjadi air dan gas klor sehingga aman bagi lingkungan. Gas yang keluar dari rotary klin kemudian didinginkan secara cepat hingga suhu 200oC untuk mencegah kembali terbentuknya dioksin. Pada proses ini, logam berat yang masih terkandung dipisahkan dan dikumpulkan ke dalam bag filter sebagai debu yang masih mengandung klor. Debu ini kemudian dialirkan ke heavy metal recovery process. Klor yang masih tersisa akan dihilangkan dan menghasilkan sebuah articial ore seperti tembaga dan timbal yang kemurniannya mencapai 35% atau lebih. Proses pembakaran akan menghasilkan clinker (intermediate stage pada industri semen) yang kemudian dikirim ke clinker tank.
  5. Penghancuran Produk
    Campuran gypsum dan clinker dihancurkan dalam finish mill dan kemudian akan dihasilkan ekosemen.
  6. Fig 1. Flowchart pembuatan ekosemen [3] Ecocement Production Flowchart

Kendala

Salah satu kendala utama pengembangan ekosemen adalah proses produksinya yang relatif mahal apabila dibandingkan dengan produksi semen konvensional. Hal ini disebabkan oleh proses pemisahan klor pada produksi ekosemen yang memakan banyak biaya. Keberadaan klor sendiri diakibatkan karena adanya plastik vinil yang ikut tercampur pada sampah organik. Pada pembuatan abu insenarasi, plastik vinil akan ikut terurai menjadi klor. Klor akan menurunkan kekuatan konkrit ekosemen apabila tidak dipisahkan. Hal tersebut membuat pemisahan plastik dari sampah organik secara seksama menjadi kunci utama pada produksi ekosemen.

Kualitas Ekosemen

Hingga saat ini, terdapat dua macam tipe ekosemen (berdasarkan penambahan alkali dan kandungan klor) yaitu tipe biasa dan tipe rapid hardening. Ekosemen tipe biasa mempunyai kualitas sama baiknya dengan semen Portland biasa. Tipe ekosemen ini digunakan sebagai ready mixed concrete sedangkan ekosemen tipe fast hardening memiliki kekuatan konkrit serta pengerasan yang lebih cepat dibanding semen Portland tipe high-early strength (lihat Fig 2). Ekosemen tipe fast hardening digunakan pada blok arsitektur, bahan genteng, pemecah ombak, dan lain sebagainya. Ekosemen tipe fast hardening telah melewati standardisasi JIS (Japanese Industrial Standard).
Fig 2. Perbandingan kekuatan ekosemen dibandikan dengan semen Portland [2]
Cement vs. Ecocement

Manfaat Ekosemen

Pengolahan sampah menjadi semen akan menambah metode alternatif pengolahan sampah yang lebih bernilai ekonomis dan biaya pengolahan sampah akan menjadi lebih murah. Sebagai contohnya, di Jepang, biaya pengolahan sampah konvensional sebelum keberadaan teknologi ekosemen ialah sebesar 40,000 yen/ton dan sekarang turun menjadi 39,000 yen/ton.
Selain itu, teknologi ekosemen sangat ramah lingkungan. Pada proses produksi ekosemen, sebagian CaO yang dibutuhkan dapat diperoleh dari abu insenerasi sehingga mengurangi penggunaan batu kapur (CaCO2) yang selama ini merupakan sumber emisi gas CO2 pada industri semen. Atas keberhasilan dalam mengurangi emisi CO2 ini, teknologi ekosemen mendapat penghargaan dari menteri lingkungan Jepang atas peranannya dalam mencegah pemanasan global.

Peluang di Indonesia

Indonesia merupakan sebuah negara yang belum bisa lepas dari masalah sampah. Mulai dari penolakan warga masyarakat sekitar TPA akibat kepulan asap dan bau yang ditimbulkan oleh pengolahan sampah dengan PLTSa hingga kejadian yang tidak pernah dilupakan Tragedi Leuwigajah yang merenggut 24 nyawa tak bersalah.
Sudah banyak upaya yang dilakukan untuk mencari solusi penyelesaian masalah sampah Indonesia termasuk dengan cara mengubah sampah tersebut menjadi sumber energi (methane). Namun, akibat kurangnya prospek dari segi ekonomi, perkembangan proses konversi tersebut dapat dikatakan masih jalan di tempat. Dengan berhasilnya Jepang dalam mengolah sampah menjadi semen, muncul peluang yang besar untuk melakukan hal yang sama di Indonesia. Untuk masalah bahan baku, di Jakarta, sampah domestik yang dihasilkan mencapai lebih dari 6000 ton/hari. Dari segi proses, dapat dikatakan bahwa prinsip pembuatan ekosemen hampir sama dengan pembuatan semen biasa. Apabila Pemerintah dan pihak industri dapat bekerja sama dengan baik, masalah sampah akan teratasi dan pihak industri meningkatkan keuntungan dengan adanya pengurangan penggunaan limestone sebesar 26%.
Satu faktor utama yang menentukan keberhasilan proses pengolahan sampah ialah regulasi pemerintah, khususnya pemerintah kota/daerah, dalam mengelola sampah dengan baik. Salah satu cara yang dapat ditempuh ialah melalui penggalakkan kampanye pemisahan sampah antara sampah organik, sampah anorganik, sampah botol, dan sampah kaleng serta kemudian menjadikannya sebagai kebiasaan warga Indonesia secara luas. Dimulai dari hal sederhana tersebut, peluang pemanfaatan sampah menjadi semen atau produk yang lain dapat dilakukan pihak industri dengan lebih ekonomis.

KIAT-KIAT SUKSES DARI NABI MUHAMMAD SAW



Dari Sayyidina Khalid bin Al-Walid Radiallahu’anhu telah berkata : Telah datang seorang arab desa kepada Rasulullah S.A.W yang mana dia menyatakan tujuannya : Wahai Rasulullah! sesungguhnya kedatanganku ini adalah untuk bertanya kepada engkau mengenai apa yang akan menyempurnakan diriku di dunia dan akhirat. Maka baginda S.A.W telah berkata kepadanya Tanyalah apa yang engkau kehendaki :
Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang alim
Baginda S.A.W menjawab : Takutlah kepada Allah maka engkau akan jadi orang yang alim
Dia berkata : Aku mau menjadi orang paling kaya
Baginda S.A.W menjawab : Jadilah orang yang yakin pada diri engkau maka engkau akan jadi orang paling kaya
Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang adil
Baginda S.A.W menjawab : Kasihanilah manusia yang lain sebagaimana engkau kasih pada diri sendiri maka jadilah engkau seadil-adil manusia
Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang paling baik
Baginda S.A.W menjawab: Jadilah orang yang berguna kepada masyarakat maka engkau akan jadi sebaik-baik manusia
Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang istimewa di sisi Allah Baginda S.A.W menjawab : Banyakkan zikrullah niscaya engkau akan jadi orang istimewa di sisi Allah
Dia berkata : Aku mau disempurnakan imanku Baginda S.A.W menjawab : Perelokkan akhlakmu niscaya imanmu akan sempurna
Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan orang yang muhsinin (baik)
Baginda S.A.W menjawab : Beribadatlah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya dan jika engkau tidak merasa begitu sekurangnya engkau yakin Dia tetap melihat engkau maka dengan cara ini engkau akan termasuk golongan muhsinin
Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan mereka yang taat Baginda S.A.W menjawab : Tunaikan segala kewajipan yang difardhukan maka engkau akan termasuk dalam golongan mereka yang taat
Dia berkata : Aku mau berjumpa Allah dalan keadaan bersih daripada dosa Baginda S.A.W menjawab : Bersihkan dirimu daripada najis dosa niscaya engkau akan menemui Allah dalam keadaan suci daripada dosa
Dia berkata : Aku mau dihimpun pada hari qiamat di bawah cahaya Baginda S.A.W menjawab : Jangan menzalimi seseorang maka engkau akan dihitung pada hari qiamat di bawah cahaya
Dia berkata : Aku mau dikasihi oleh Allah pada hari qiamat Baginda S.A.W menjawab : Kasihanilah dirimu dan kasihanilah orang lain niscaya Allah akan mengasihanimu pada hari qiamat
Dia berkata : Aku mau dihapuskan segala dosaku Baginda S.A.W menjawab : Banyakkan beristighfar niscaya akan dihapuskan( kurangkan ) segala dosamu
Dia berkata : Aku mau menjadi semulia-mulia manusia Baginda S.A.W menjawab : Jangan mengesyaki sesuatu perkara pada orang lain niscaya engkau akan jadi semulia-mulia manusia
Dia berkata : Aku mau menjadi segagah-gagah manusia Baginda S.A.W menjawab : Sentiasa menyerah diri (tawakkal) kepada Allah niscaya engkau akan jadi segagah-gagah manusia
Dia berkata : Aku mau dimurahkan rezeki oleh Allah Baginda S.A.W menjawab : Sentiasa berada dalam keadaan bersih ( dari hadas ) niscaya Allah akan memurahkan rezeki kepadamu
Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan mereka yang dikasihi oleh Allah dan rasulNya Baginda S.A.W menjawab : Cintailah segala apa yang disukai oleh Allah dan rasulNya maka engkau termasuk dalam golongan yang dicintai oleh Mereka
Dia berkata : Aku mau diselamatkan dari kemurkaan Allah pada hari qiamat Baginda S.A.W menjawab : Jangan marah kepada orang lain niscaya engkau akan terselamat daripada kemurkaan Allah dan rasulNya
Dia berkata : Aku mau diterima segala permohonanku Baginda S.A.W menjawab : Jauhilah makanan haram niscaya segala permohonanmu akan diterimaNya
Dia berkata : Aku mau agar Allah menutupkan segala keaibanku pada hari qiamat
Baginda S.A.W menjawab : Tutuplah keburukan orang lain niscaya Allah akan menutup keaibanmu pada hari qiamat
Dia berkata : Siapa yang terselamat daripada dosa?
Baginda S.A.W menjawab : Orang yang sentiasa mengalir air mata penyesalan,mereka yang tunduk pada kehendakNya dan mereka yang ditimpa kesakitan
Dia berkata : Apakah sebesar-besar kebaikan di sisi Allah? Baginda S.A.W menjawab : Elok budi pekerti, rendah diri dan sabar dengan ujian ( bala )
Dia berkata : Apakah sebesar-besar kejahatan di sisi Allah? Baginda S.A.W menjawab : Buruk akhlak dan sedikit ketaatan
Dia berkata : Apakah yang meredakan kemurkaan Allah di dunia dan akhirat ? Baginda S.A.W menjawab : Sedekah dalam keadaan sembunyi ( tidak diketahui ) dan menghubungkan kasih sayang
Dia berkata: Apakah yang akan memadamkan api neraka pada hari qiamat? Baginda S.A.W menjawab : sabar di dunia dengan bala dan musibah
Sumber : http://sepia.blogsome.com/2005/11/12/kiat-sukses-dunia-akhirat/

Tabel Katalog Besi: Cara Menghitung Berat Besi

Tabel Katalog Besi: Cara Menghitung Berat Besi

Keuntungan dan Kerugian Penngunaan Baja Ringan


Kadangkala ketika melihat sebuah bangunan yang sedang dikerjakan terutama yang sedang memasang rangka atap, terlihat struktur rangka baja berwarna perak digunakan untuk struktur penyangga atap, tidak digunakan kayu seperti biasanya. Itulah konstruksi rangka atap baja ringan yang semakin banyak digunakan bukan hanya pada proyek-besar dan mewah tetapi sudah digunakan juga pada rumah-rumah tinggal, gedung sekolah, ruko, dan lai-lain. (kalau di villa2 ya kayaknya jarang …)
Baja ringan?, barang apaan itu, kenapa pula dikatakan ringan?

Berbeda dengan baja konvensional, baja ringan merupakan baja mutu tinggi yang memiliki sifat ringan dan tipis, namun memiliki fungsi setara baja konvensional. Baja ringan ini termasuk jenis baja yang dibentuk setelah dingin (cold form steel).
Rangka atap baja ringan diciptakan untuk memudahkan perakitan dan konstruksi. Meskipun tipis, baja ringan memiliki derajat kekuatan tarik yang tinggi yaitu sekitar 550 MPa, sementara baja biasa sekitar 300 MPa. Kekuatan tarik dan tegangan ini untuk mengkompensasi bentuknya yang tipis. Ketebalan baja ringan yang beredar sekarang ini berkisar dari 0,4mm – 1mm.
Perhitungan kuda-kuda baja ringan amat berbeda dengan kayu, yakni cenderung lebih rapat. Semakin besar beban yang harus dipikul, jarak kuda-kuda semakin pendek. Misalnya untuk genteng dengan bobot 40 kg/m2 jarak kuda-kuda bisa dibuat setiap 1,4m. Sementara bila bobot genteng mencapai 75kg/m2, maka jarak kuda-kuda menjadi 1,2m. Kenapa harus dipakai rangka baja ringan?
Inilah kelebihan dan kekurangannya: (*sumber : serial rumah)
Kelebihan:
  • Karena bobotnya yang ringan maka dibandingkan kayu, beban yang harus ditanggung oleh struktur di bawahnya lebih rendah (jadi lebih irit strukturnya)
  • Baja ringan bersifat tidak membesarkan api (non-combustible).
  • Tidak bisa dimakan rayap (memangnya rayap makan baja…?.)
  • Pemasangannya relatif lebih cepat apabila dibandingkan rangka kayu.
  • Baja ringan nyaris tidak memiliki nilai muai dan susut, jadi tidak berubah karena panas dan dingin (itu kata aplikatornya lho).
Kekurangannya :
  • Kerangka atap baja ringan tidak bisa diekspos seperti rangka kayu, sistem rangkanya yang berbentuk jaring kurang menarik bila tanpa penutup plafon.
  • Karena strukturnya yang seperti jaring ini maka bila ada salah satu bagian struktur yang salah hitung ia akan menyeret bagian lainnya maksudnya jika salah satu bagian kurang memenuhi syarat keamanan, maka kegagalan bisa terjadi secara keseluruhan (biasanya perhitungan strukturnya langsung dilakukan oleh structural engineer dari aplikatornya)
  • Rangka atap baja ringan tidak sefleksibel kayu yang dapat dipotong dan dibentuk berbagai profil. (makanya jarang digunakan pada bangunan tradisional...)
Peraturan untuk konstruksi rangka atap baja ringan di Indonesia sepertinya belum ada(setidaknya untuk saat ini), kalaupun ada hanya tersirat pada peraturan baja secara umum, sedangkan untuk baja cold form sepertinya belum ada secara khusus.
Lalu bagaimana penggunaannya bisa dipertanggungjawabkan? ..Yah itulah kebiasaan kita, peraturan baru akan dibuat setelah sesuatu itu sudah terlalu biasa/lumrah dijumpai. Sementara garansinya hanya dari aplikator baja ringan tersebut, itupun hanya sebatas umur perusahaan mereka, jika mereka sudah tidak ada lagi ya susah minta garansi kemana.
Dilihat dari sudut lain, benarkah rangka atap baja ringan itu sahabat alam?
Karena salah satu kelebihan baja adalah tidak dimakan rayap, ya bisa dikatakan memang benar bahwa rangka atap baja ringan adalah sahabat alam. Seperti diketahui rayap merupakan serangga perusak kayu yang cukup ditakuti diseluruh dunia. Kemampuan makan seekor prajurit rayap bisa mencapai 2,5 kali berat tubuhnya setiap hari, wah berapa hutan yang terbabat setiap tahunnya karena dimakan rayap ya?…..
Selain masalah rayap, penggunaan rangka atap baja ringan yang semakin lumrah tentu saja bisa mengurangi volume pemakaian kayu untuk bahan bangunan, tapi itu baru secara logika lho (karena makin banyak juga kok bertebaran produsen rumah kayu yang hanya menggunakan kayu sebagai bahannya….nyambung nggak ya?).
Kalau dikatakan pasti lebih ramah lingkungan sepenuhnya kayaknya masih perlu pembuktian juga, karena selama ini jarang sekali dipublikasikan bagaimana proses pembuatan material baja ringan tersebut, apakah bahan yang mereka gunakan juga ramah lingkungan? Darimana dan bagaimana mereka mendatangkan bahan-bahan pembuatnya, dan apakah pabriknya sendiri sudah ramah lingkungan, termasuk pengolahan limbahnya (yang tentu saja berupa logam-logam berat).
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab, tidak saja oleh produsennya tetapi oleh semua kalangan yang terlibat termasuk pemerintah dan penggunanya sendiri

Rumus Menghitung Berat Besi Beton


  banyak orang di proyek yang belum tahu cara menghitung berat besi per m' atau berat besi per batang. Kebanyakan mereka hanya mendapatkan rumus jadi. Ada baiknya untuk mengetahui asal rumus tersebut :

Rumus jadi :
Berat per m' (kg/m') = 0,006165 x D^2 (kuadrat)
Berat per batang (kg) = 0,006165 x D^2 (kuadrat) x 12 m'

Asal rumus :Dengan menggunakan pendekatan rumus volume tabung.
Volume tabung = 0,25 x 3,14 x D^2 x P x BJ

Keterangan :
D = diameter besi beton
P = panjang besi beton
BJ = berat jenis besi beton (7.850,- kg/m3)

Rumus ini diperpendek, sehingga menjadi :
Volume = 0.25 x 3.14 x 7850
= 6.162,25 kg/m3
= 0,006162 kg/mm3

Contoh :
Menghitung berat besi dia. 10 mm per m' :
Berat per m' = 0,006165 x 10 x 10
= 0,62 kg/m'
Berat per batang = 0,62 x 12
= 7,40 kg

Tugas Anda, mengecek apakah benar besi beton dia. 10 mm panjang 12 m' beratnya 7,40 kg?

Menghitung Berat Benda tanpa Timbangan

Menghitung Berat Benda tanpa Timbangan

Untuk mengetahui berat benda ada 2 cara yang bisa dilakukan yaitu:
1. Menimbang langsung benda tersebut ke timbangan
2. Dengan menggunakan perhitungan matematis.

Cara yang pertama tentu saja lebih mudah karena tinggal membawa benda tersebut ke sebuah timbangan maka akan diketahui berapa berat benda tersebut.
Namun terkadang kita mengalami kesulitan misalnya pada saat itu tidak tersedia timbangan, atau timbangan yang ada mempunyai skala yang lebih kecil, belum lagi faktor faktor lainnya seperti kotor, efisiensi dan lain-lain.

Pada umumnya para estimator menggunakan cara kedua dalam menghitung berat benda dengan menggunakan perhitungan matematis.
Untuk menghitung berat benda secara matematis kita harus tahu berat jenis benda tersebut, misalnya untuk benda berupa besi memiliki berat jenis 7,86.
Berikut ini beberapa contoh berat jenis benda:
Nama Benda Berat Jenis
Besi (Fe) 7,86
Seng (Zn) 7,12
Aluminium (Al) 2,7
Emas (Hg) 13,55
Tembaga (Cu) 8,93
Platina (Pt) 21,4
Timah (Pb) 11,34
Nikel (Ni) 8,85
Stainless Steel (SUS) 7,9
Perunggu 8,8
   
Cara menghitung berat benda berbentuk persegi.
Untuk menghitung berat benda yang berbentuk persegi maka menggunakan rumus sebagai berikut:
Kg =
Panjang (L)
x
Lebar (W)
x
Tebal (T)
x
Berat_Jenis
1.000.000
Satuan dalam milimeter.
Contoh:
Sebuah Besi dengan panjang 1000mm, lebar 200mm dan tebal 3mm. Berapa berat besi tersebut?
Kg =
1000
x
200
x
3
x
7,86
1.000.000
  =
4,72
           
Cara menghitung berat benda berbentuk lingkaran.
Untuk menghitung berat benda berbentuk lingkaran pada dasarnya sama saja, bedanya adalah anda harus menghitung keliling lingkaran benda tersebut dengan menggunakan rumus lingkaran 2 x Phi x r atau Phi x d.
Semoga artikel ini bermanfaat.

Keuntungan dan Kerugian Sistem Pekerjaan Harian




Dalam Sistem pekerjaan harian, upah tukang dan kuli dihitung setiap hari dengan nilai tertentu, jadi temen-temen kudu ngabsen tenaga kerja setiap hari. Namanya sistem dimana-mana pasti ada keuntungan dan kelemahannya, ini tak coba merangkum keuntungan dan kelemahan sistem ini. Berikut Keuntungan dan Kerugian Sistem Pekerjaan Harian

 

Keuntungan

  • Owner yang tidak memiliki gambar kerja dan dokumen pelaksanaan, dapat memberikan petunjuk pekerjaan dilapangan, owner bisa mengatur seluruh kegiatan kerja proyek
  • Owner bisa mengontrol kualitas pekerjaan dan material
  • Perbedaan persepsi kerapihan dan mutu pekerjaan antara pemborong dan owner bisa dihindari, karena owner leluasa mengontrol pekerjaan
  • Kerapihan bisa diawasi dan cepat diketahui oleh owner, karena laju pekerjaan tidak secepat pekerjaan sistem borongan

Kerugian
  • Owner harus memikirkan jumlah tenaga kerja, jadwal order material dan pelaksanaan pekerjaan
  • Untuk owner yang sibuk, sistem ini sangat tidak menguntungkan
  • Tenaga kerja ada kecenderungan memperlambat waktu pelaksanaan, makin lama pelaksanaan makin banyak upah yang mereka terima karena penambahan hari
  • Pembayaran upah, material dll dilakukan seminggu sekali
  • Owner tidak memiliki masa pemeliharaan setelah proyek selesai
  • Sangat rentan pembengkakan biaya, karena ada banyak faktor yang tidak disadari ( penambahan volume pekerjaan, tuntutan kerapihan )

Demikian yang bisa saya sampaikan..semoga bermanfaat

Keuntungan dan Kerugian Pekerjaan Borongan

Sistem pekerjaan borongan dikerjakan oleh pelaksana pekerjaan dalam bentuk satu paket, ada yang borongan harga satuan ada pula borongan dengan harga per m2 atau per meter plat ( berdasarkan luas bangunan x harga per m2 ), per meter plat biasanya untuk pek. Gedung ( rumah tinggal termasuk pek. gedung )
Dalam postingan kali ini, saya membahas Sistem pekerjaan borongan untuk rumah mulai Nol sampai dengan siap ditempati.
Sistem Pekerjaan borongan juga mempunyai keuntungan dan kerugian, berikut keuntungan dan kerugian sistem pekerjaan borongan tersebut..semoga bermanfaat

Keuntungan :

  • Owner tidak perlu memikirkan jumlah tenaga, Jadwal pemberian honor tenaga dan kebutuhan material
  • Sangat cocok untuk owner yang sibuk
  • Pembayaran dengan menggunakan jangka waktu (termyn) sesuai dengan % selesainya pekerjaan atau berdasarkan perjanjian
  • Owner mempunyai masa garansi/masa pemeliharaan..untuk lamanya sesuai dengan perjanjian kontrak
  • Ada Retensi, pembayaran termyn terakhir tidak dibayarkan seluruhnya tapi dipotong dengan besarnya jaminan retensi/pemeliharaan
Kerugian :
  • Gambar kerja harus benar-benar jelas, untuk menghindari kesalahpahaman sehingga memberikan peluang adanya pekerjaan bongkar pasang, sehingga perhitungan biaya pada RAB harus diulang, biaya pelaksanaan membengkak
  • Kualitas pekerjaan dan material sulit dikontrol bila tidak ada pengawasan dan dokumen pelaksanaan yang jelas
  • Karena tidak ada pengawasan dari pihak owner , kadang owner kecewa dengan hasilnya karena tidak sesuai dengan yang diharapkan, kalo diperbaiki akan menambah biaya
  • Butuh Surat Perjanjian Kerja yang jelas dan lengkap untuk menghindari lepas tanggung jawab dan pertikaian, contoh : owner tidak dapat membayar sesuai dengan termyn
  • Estimasi dari pelaksana pekerjaan yang kurang tepat, sehingga nilai pekerjaan bisa lebih mahal

menghitung berat besi tanpa rumus

Yang suka berhitung, suka teknik, suka otak atik, hobi arsitektur, hobi matematika atau anda engineer pemula atau senior berikut ada rumus berat besi yang praktis dan kemasannya asyik dan Sangat mudah dipahami brrro…
Berbicara tentang struktur, khususnya struktur beton bertulang, menghitung kebutuhan besi adalah hal pokok yang tidak bisa dihindari, dan lebih-lebih jika hal tersebut dihubungkan dengan RAB ( rencana anggaran biaya ) maka hal tersebut menjadi sangat penting.
Dalam menghitung berat besi, kadangkala konversi perhitungannya lebih mengarah ke parameter berat (kg) daripada ke parameter jumlah batang (misal : lonjoran), kalau tidak percaya anda boleh jalan-jalan ketoko besi (khususnya yang menjual besi tulangan dan plat) kemudian tanyakan ke penjualnya, untuk beli besi tersebut hitungan harganya berdasarkan jumlah besi yang anda beli ataukah berdasarkan berat dari besi secara keseluruhan yang anda beli ? ( atau kalau dalam istilah tukangnya “lonjoran, bijian ataukah kiloan ???”)
Perumusan praktis untuk menghitung berat besi
Secara umum perumusan untuk menghitung berat besi adalah :
Vb x Bjb = ….. Kg
dimana : Vb = Volume besi (m3)
Bjb = Berat jenis besi = 7850 (kg/m3)
Contoh :
1. Pelat besi dengan ukuran (1m x 1m) dengan tebal pelat 1 mm, hitung beratnya ?
berat besi = (1 x 1 x 0.001) m3 x 7850 kg/m3 = 7.85 kg
(Cat : 1 mm = 0.001 m)
2. Base plate dengan ukuran (25 cm x 30cm) dengan tebal plat 12 mm, hitung beratnya ?
berat base plate = (0.25 x 0.30 x 0.012) m3 x 7850 kg/m3 = 7.065 kg.
Sampai disini cukup mudah dipahami kan?…..nah sekarang bagaimana perumusannya untuk menghitung berat dari besi tulangan untuk beton?.
Jawabannya :
Caranya sama tidak ada yang beda, intinya adalah volume dikalikan dengan berat jenis besi.
Contoh :
1. Hitung berat besi tulangan diameter 16 dengan panjang 12 meter ?
luas penampang Ø16 = 1/4 (π) d2 = 1/4(3.14)(0.016)2 = 0.00020096 m2
volume Ø16 = luas penampang x panjang batang = 0.00020096 m2 x 12 m = 0.002411 m3
berat besi Ø16 = Volume x 7850 kg/m3 = 0.002411 m3 x 7850 kg/m3 = 18.93 kg
cukup mudah kan ?, dari cara yang saya uraikan diatas, ada lagi cara yang lebih cepat untuk menghitung berat dari besi tulangan tersebut, yaitu dengan menggunakan perumusan :
Berat besi tulangan = 0.006165 x d2 x L …(Kg)
dimana : d = diameter tulangan (mm)
L = panjang batang tulangan (m)
Contoh :
2. Hitung berat besi dari contoh soal no 1, dengan perumusan diatas ?
berat besi Ø16 = 0.006165 x 162 x 12 = 18.93 kg
sama kan hasilnya,..silahkan anda menghitung sendiri dengan mencoba-coba ukuran besi tulangan yang lain, dan saya pastikan bahwasanya dua cara diatas akan menghasilkan hasil yang sama,…buktikan sendiri brow, insya Allah pasti sama.
Nah… sekarang yang menjadi pertanyaan adalah “darimana asal angka 0.006165 dari perumusan diatas?”.
berikut adalah penjabarannya :
Seperti yang sudah saya uraikan diatas, rumus mencari berat besi adalah : Vb x Bjb
dimana Vb = Volume besi dan Bjb = Berat jenis besi = 7850 kg/m3
Jadi berat besi tulangan (penampang bulat) :
= Vb x 7850 kg/m3
= ( 1/4 x π x d2 x L ) x 7850 kg/m3
= 1/4 x 3.1415 x d2 x L x 7850 kg/m3
karena d = diameter tulangan disebutkan dalam satuan milimeter (mm), maka kita konversi dulu ke meter (m),
d2 = (d x d)…………………….……mm2
dikonversi ke meter ( 1mm = 0.001 m )
= ( 0.001d x 0.001d )
= ( 1x 10-6 ) d2 …………………m2
Sehingga,
= 1/4 x 3.1415 x ( 1x 10-6 ) d2 x L x 7850
= 0.006165 d2 x L
Jadi perumusan untuk menghitung berat besi adalah = 0.006165 d2 x L
Nb :
Sekedar sebagai perbandingan, berikut saya lampirkan tabel berat besi, silahkan anda mencoba-coba sendiri dengan membuktikan perumusan diatas untuk menghitung berat dari besi tulangan dan bandingkan hasilnya dengan tabel berat besi berikut ini :
warna kuning = menyatakan panjang batang tulangan
warna hijau = menyatakan diameter tulangan
Contoh penggunaan tabel :
1. berat besi dari tulangan dengan diameter 12 dengan panjang 11 meter = 9.77 kg
Cek menggunakan rumus berat besi :
berat besi Ø12 = 0.006165 x 122 x 11 = 9.77 kg …..( sama)
Semoga bermanfaat…
Source : Lutfi @ndrian (www.kampustekniksipil.co.cc)

macam-macam pondasi

Setiap bangunan pasti membutuhkan sebuah tumpuan untuk dapat berdiri di atas tanah. Komponen tersebut sering disebut dengan pondasi. Terdapat beberapa jenis pondasi yang dapat digunakan dalam setiap pembangunan dari mulai yang tradisional sampai yang modern. Berikut merupakan beberapa jenis Pondasi yang beredar di dunia pembangunan :
  1. Pondasi telapak (untuk Rumah Panggung)
  2. Pondasi Rollag Bata (untuk Bangunan Sederhana)
  3. Pondasi Batu Kali (untuk Bangunan Sederhana 1-2 lantai)
  4. Pondasi Batu Bata (untuk Bangunan Sederhana)
  5. Pondasi Tapak atau Ceker Ayam (untuk Bangunan bertingkat 2-3 Lantai)
  6. Pondasi Sumuran (untuk Bangunan Bertingkat 3-4 Lantai)
  7. Pondasi Bored Pile atau Strauss pile (untuk Bangunan Bertingkat)
  8. Pondasi Tiang Pancang atau Paku Bumi (untuk bangunan bertingkat)
Berikut telah disebutkan macam-macam pondasi yang sering digunakan dalam pembangunan sebuah bangunan khususnya di Indonesia. Selanjutnya marilah kita telaah lebih dalam lagi tentang masing-masing jenis pondasi tersebut.
1. Pondasi telapak (untuk Rumah Panggung)

Pondasi telapak merupakan jenis pondasi sederhana yang telah digunakan oleh masyarakat indonesia sejak zaman dulu. Pondasi ini terbuat dari beton tanpa tulang yang dicetak membentuk limas segi empat seperti pada gambar disamping.
Sistem kerja pondasi ini menerapkan sistem tanam. Jadi pondasi telapak ini menahan kolom yang tertanam di dalamnya sehingga tidak masuk dalam tanah. Seperti halnya ketika kita menggunakan sebuah ganjalan yang pipih atau ganjalan yang lebih lebar untuk standar motor ketika di tempatkan pada tanah yang lembek.
2. Pondasi Rollag Bata (untuk Penahan lantai)

Rollag bata merupakan pondasi sederhana yang fungsinya bukan menyalurkan beban bangunan, melainkan untuk menyeimbangkan posisi lantai agar tidak terjadi amblas pada ujung lantai. Pondasi ini biasanya digunakan untuk membuat teras rumah, fungsinya hampir sama dengan sloof gantung namun rollag bata tidak sekuat sloof gantung dan tidak semahal sloof gantung.




3. Pondasi Batu Kali (untuk Bangunan Sederhana 1-2 lantai)
Pondasi batu kali merupakan pondasi penahan dinding yang digunakan pada bangunan sederhana. Pondasi ini terdiri dari batu kali dan perekat yang berupa campuran pasir dan semen. Biasanya campuran agregat untuk merekatkan batu kali ini menggunakan perbangingan 1 : 3 karena batu kali akan selalu menerima rembesan air yang berasal dari tanah. Sehingga sehingga membutuhkan campuran yang lebih kuat menahan rembesan.







4. Pondasi Batu Bata (untuk Bangunan Sederhana)
Seperti halnya pondasi Batu Kali, pondasi batu bata memiliki fungsi sama. Namun yang membedakan keduanya hanyalah bahan yang digunakan serta kondisi alam di daerah sekitarnya. Dikarenakan batu-bata merupakan bahan yang rentan terhadap air, maka pemasangan harus lebih maksimal artinya bata yang dipasang harus dapat terselimuti dengan baik. Perhatikan contoh pondasi Batu Bata di bawah ini.

 
5. Pondasi Tapak atau Ceker Ayam (untuk Bangunan bertingkat 2-3 Lantai)

Pondasi tapak merupakan pondasi yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia ketika mendirikan sebuah bangunan. Terutama bangunan bertingkat serta bangunan yang berdiri di atas tanah lembek. Pondasi tapak di temukan oleh Alm Prof Ir Sediyatmo tsb, dan dikembangkan oleh Prof Ir Bambang Suhendro, Dr harry Christady dan Ir Maryadi Darmokumoro, yang dikenal dengan Sistim Cakar Ayam Modifikasi (CAM).
Modifikasi yang dilakukan adalah : penggantian pipa beton menjadi pipa baja tipis tebal 1.4 mm, perhitungan dalam 3 Dimensi dan penambahan "koperan" pada tepi slab.
Sistim CAM tsb telah di uji skala penuh oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan di ruas jalan Pantura Indramyu-Pemanukan (2007) dan digunakan di Jalan Tol seksi 4 Makasar (2008).

6. Pondasi Sumuran (untuk Bangunan Bertingkat)

Pondasi sumuran memiliki fungsi sama dengan pondasi footplat. Pondasi sumuran merupakan pondasi yang berupa campuran agregat kasar yang dimasukan kedalam lubang yang berbentuk seperti sumur dengan besi-besi di dalamnya. Pondasi ini biasanya digunakan pada tanah yang labil dan memiliki sigma 1,50 kg/cm2. Pondasi sumuran juga dapat digunakan untuk bangunan beralantai banyak seperti medium rise yang terdiri dari 3-4 lantai dengan syarat keadaan tanah relatif keras. Berikut contoh podasi sumuran.







7. Pondasi Bored Pile atau Strauss pile (untuk Bangunan Bertingkat)

Pondasi Bored pile digunakan untuk banguna berlantai banyak seperti rumah susun yang memiliki lantai 4-8 lantai. Pondasi ini berbentuk seperti paku yang kemudian di tancapkan kedalam tanah dengan menggunakan alat berat seperti kren. Berikut merupakan contoh pondasi bored pile.






8. Pondasi Tiang Pancang atau Paku Bumi (untuk bangunan bertingkat)

Pondasi berikut ini merupakan pondasi yang banyak digunakan untuk pembangunan gedung berlantai banyak seperti Apartment, Kondominium, Rent Office dan sebagainya. Pondasi ini hampir sama dengan pondasi bored pile. Namun pondasi tiang pancang memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan pondasi bored pile. Berikut contoh pondasi tiang pancang.
Demikian penjelasan penulis tentang beberapa pondasi yang beredar di Indonesia pada khususnya dan sering banyak digunakan pada dunia pembangunan di Indonesia. Semoga tulissan ini dapat bermanfaat dan dapat membantu pekerjaan anda. Namun janganlah tulisan ini  menjadi acauan satu-satunya untuk menambah pengetahuan anda. Selamat berjuang.

JEMBATAN

TEKNIK SIPIL‎ > ‎

JEMBATAN

Jembatan merupakan struktur yang melintasi sungai, teluk, atau kondisi-kondisi lain berupa rintangan yang berada lebih rendah, sehingga memungkinkan kendaraan, kereta api maupun pejalan kaki melintas dengan lancar dan aman. Jika jembatan berada di atas jalan lalu lintas biasa maka biasanya dinamakan viaduct.

Jembatan dapat dikatakan mempunyai fungsi keseimbangan (balancing) sistem transportasi, karena jembatan akan menjadi pengontrol volume dan berat lalu lintas yang dapat dilayani oleh sistem transportasi. Bila lebar jembatan kurang menampung jumlah jalur yang diperlukan oleh lalu lintas, jembatan akan menghambat laju lalu lintas. Struktur jembatan dapat dibedakan menjadi bagian atas (super struktur) yang terdiri dari deck atau geladak, sistem lantai, dan rangka utama berupa gelagar atau girder, serta bagian bawah (sub struktur) yang terdiri dari pier atau pendukung bagian tengah, kolom, kaki pondasi (footing), tiang pondasi dan abutmen. Super struktur mendukung jarak horisontal di atas permukaan tanah.

Sebagai bagian dari transportasi, khususnya transportasi darat, teknologi jembatan berkembang sejalan dengan peradapan manusia. Dan hingga sekarang bidang teknologi jembatan sangat maju. Namun kemajuan yang dialami diawali dengan proses ”cut and try”.
Dapat dikatakan bahwa ide teknologi jembatan muncul dari pengalaman kehidupan manusia. Misalnya pengalaman manusia dimana pohon yang tumbang melintasi sungai pada saat banjir, dapat dimamafatkan untuk penyebrangan. Atau contoh alamiah lain yang dapat melahirkan ide jembatan gantung adalah menyebrangnya hewan atau mausia dengan memanfaatkan akar pohon dari satu pohon ke pohon lain.
Pengalaman praktis dari kehidupan manusia dalam mengatasi alam, didukung dengan pengetahuan akan ilmu-ilmu gaya, melahirkan teknologi jembatan yang kian hari bertambah maju. Hal ini dapat kita lihat dan jumpai dalam kenyataan sekarang ini, dimana teknologi jembatan sudah sangat maju.
Sebagaimana uraian sebelumnya, perkembangan teknologi jembatan diawali dari proses ”cut and try”. Selanjutnya dengan metode empiris, dibuatlah beberapa pikiran intelegensi tentang kekuatan bahan dalam membangun jembatan.

1.1.1 Teknologi Jembatan Zaman Purba
Pemikiran-pemikiran zaman purba telah menjadi sumbangan yang sangat berharga bagi teknologi jembatan. Manusia zaman purba menyebrangi sungai dengan memasang tiang-tiang batu dan pilar-pilar batu, kayu gelondongan, atau pohon yang tumbang dengan bentang yang sangat pendek. Juga manusia purba menyebrangi sungai dengan memanfatkan cabang-cabang atau akar-akar yang bergantungan sebagai jembatan gantung, dengan cara berayun dari satu pohon ke pohon lain.
Tipe jembatan zaman purba adalh jembatan balok sederhana, dan digunakan hanya untuk bentangan yang pendek. Namun, pada era ini juga ditemukan tipe jembatan pelengkung, walau bentuk dan meterial konstruksi masih sangat sederhana.


1.1.2 Teknologi Jembatan Periode Romawi Kuno
Teknologi jembatan pada periode ini, telah membangun jembatan dari kayu, batu dan beton. Untuk jembatan batu dan beton, bentuknya sama seperti pada periode jembatan purba yaitu berbentuk lengkung. Namun periode ini,  telah berhasil mengatasi permasalahan yang rumit, seperti membuat perhentian konstruksi yang dibangun di atas pilar yang berada di bawah air dan melindunginya dari bahaya banjir.



1.1.3 Teknologi Jembatan Zaman Pertengahan
Konstruksi jembatan pada periode ini tidak berbeda jauh dari periode Romawi Kuno. Bentuk lengking dan pilar-pilar batu masing sering digunakan sekitar abad ke-12 di Prancis, pilar jembatan dibual dalam bentuk segi tiga pada bagan huludan dikenal dngan is tilah ”streaminglining” dari kayu.
Pada periode ini, tiang-tiang pancang telah dipakai untuk mengatasi masalah tanah dasar. Tiang-tiang tersebut dipancang secara berkelompok dengan jarak yang rapat sehingga membentuk satu kasatuan kelompok tiang yang solid. Bagian atas tiang dilapisi tiga lapisan kayu sebagai kepala tiang (pile cap) dan dijepit dengan besi. Kemudian lapisan batu ditempatkan sebagai pangkal jembatan dan dibuat lengkung.

1.1.4 Teknologi Jembatan Zaman Besi dan Baja
Era jembatan besi dan baja sejalan dengan adanya revolusi industri. Pada zaman ini jembatan besi dibangun dengan menggunakan prinsip-prinsip bentuk lengkung, terutama untuk jembatan jalan raya. Pada era ini jembatan menggunakan berbagai macam komponen dan sistem struktur baja: deck, girder, rangka batang, pelengkung, penahan dan penggantung kabel

 

geometri jalan

D A F T A R I S I

LEMBAR JUDUL ……………………………………………………………………………………. i
LEMBAR ASISTENSI …………………………………………………………………………….. ii
LEMBAR TUGAS …………………………………………………………………………………… iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………… v
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………… 1
1.2 Maksud dan Tujuan ………………………………………………………………….. 1
1.3 Ruang Lingkup ………………………………………………………………………… 2
BAB II DASAR TEORI …………………………………………………………………………. 4
2.1 Uraian Umum ………………………………………………………………………….. 4
2.1.1 Pengertian Jalan ………………………………………………………….. 4
2.1.2 Klasifikasi Jalan ………………………………………………………….. 4
2.1.3 Volume Lalu Lintas …………………………………………………….. 7
2.1.4 Fakto Yang Mempengaruhi Perencanaan Geometrk ………… 8
2.2 Perencanaan Geometrik Jalan Raya ……………………………………………. 10
2.2.1 Perencanaan Alinement Horizontal ……………………………….. 10
2.2.2 Jenis – Jenis Lengkung Peralihan ………………………………….. 12
2.2.3 Penampang Melintang Jalan …………………………………………. 20
2.2.4 Kemiringan Pada Tikungan ………………………………………….. 20
2.2.5 Pelebaran Perkerasa …………………………………………………….. 24
2.3 Alinement Vertikal …………………………………………………………………… 26
2.3.1 Landai Maksimum dan Panjang Landai Maksimum ………… 27
2.3.2 Lengkung Vertikal ……………………………………………………… 28
2.3.3 Jarak Pandang ……………………………………………………………. 30
2.4 Galian dan Timbunan ……………………………………………………………….. 33
2.5 Perencanaan Tebal Perkerasan ……………………………………………………. 34
2.5.1 Uraian Umum …………………………………………………………….. 34
2.5.2 Umur Rencana ……………………………………………………………. 34
2.5.3 Lalu Lintas ………………………………………………………………… 34
2.5.4 Konstruksi Jalan …………………………………………………………. 35
2.5.6 Penentuan Besaran Rencana ………………………………………… 44
BAB III PERHITUNGAN DAN PERENCANAAN …………………………………. 50
3.1 Standar Perencanaan Geometrik Jalan ………………………………………… 50
3.2 Perhitungan dan Penetuan Type Tikungan …………………………………… 54
3.2.1 Penetuan Type Tikungan ……………………………………………… 54
3.2.2 Perhitungan Tikungan …………………………………………………. 55
3.3 Pelebaran Tikungan ………………………………………………………………….. 60
3.4 Perhitungan Jarak Pandang ……………………………………………………….. 62
3.4.1 Jarak Pandang Henti (dh) …………………………………………….. 62
3.4.2 Jarak Pandang Menyiap ………………………………………………. 64
3.5 Perhitungan Alinement Vertikal …………………………………………………. 66
3.5.1 Perhitungan Alinement Vertikal Patok 10 ……………………… 66
3.5.2 Perhitungan Alinement Vertikal Patok 16 ……………………… 71

B A B I
P E N D A H U L U A N
1.1 Latar Belakang
Kostruksi jalan raya sebagai sarana transportasi adalah merupakan unsur yang sangat penting dalam usaha meningkatkan kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraannya. Dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai mahluk sosial manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain, maka dengan adanya prasarana jalan ini, maka hubungan antara suatu daerah dengan daerah lain dalam suatu negara akan terjalin dengan baik. Sarana yang dimaksud disini adalah sarana penghubung yang melalui darat, laut dan udarah. Dari ketiga sarana tersebut, akan ditinjau prasarana yang melalui darat.
Dalam perencanaan geometrik termasuk juga perencanaan tebal perkerasan jalan, karena dimensi dari perkerasan merupakan bagian dari perencanaan geometrik sebagai suatu perencanaan jalan seutuhnya.
Bertambahnya jumlah dan kualitas kendaraan dan berkembangnya pengetahuan tentang kelakukan pengendara serta meningkatnya jumlah kecelakaan, menuntut perencanaan geometrik supaya memberikan pelayanan maksimum dengan keadaan bahaya minimum dan biaya yang wajar.
1.2 Maksud dan Tujuan
Suatu perencanaan geometrik yang lengkap tidak saja memperhatikan keamanan dan ekonomisnya biaya, tetapi juga nilai struturalnya. Kita harus lebih teliti dalam memilih lokasi perencanaan geometrik sehingga suatu jalan menjadi nyaman.
Sebagai perencana, kita dituntut untuk menguasai teknik perencanaan geometrik dan tata cara pembuatan konstruksi jalan raya serta memahami permasalahan dan pemecahannya.
Yang dimaksud perkerasan lentur dalam perencanaan ini adalah perkerasan yang umumnya menggunakan bahan campuran beraspal sebagai lapisan permukaan serta bahan berbutir sebagai lapisan dibawahnya. Interpretasi, evaluasi dan kesimpulan-kesimpulan yang akan dikembangkan dari hasil penetapan ini, harus juga memperhitungkan penerapannya secara ekonomis sesuai dengan kondisi setempat, tingkat keperluan, kemampuan pelaksanaan dan syarat teknis lainnya, sehingga kontruksi jalan yang direncanakan itu adalah yang optimal.
Pada umumnya teknik perencanaan geometrik jalan raya dibagi atas tiga bagian penting, yaitu :
  1. alinyemen horizontal / trase jalan
  2. alinyemen vertikal / penampang memanjang jalan
  3. penampang melintang jalan
pembangunan yang baik antara alinyemen horizontal dan vertical memberikan keamanan dan kenyamanan para pemakai jalan.
1.3 Ruang lingkup
Perencanaan geometrik jalan raya
Dalam perencanaan geometrik yang kami laksanakan dalam tugas ini, pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
  1. perencanaan trase dan penentuan medan
  2. bentuk dan panjang kurva
  3. penggambaran kurva
  4. penentuan kemiringan melintang tiap tikungan dan penggambaran elevasi, superelevasi badan jalan.
  5. menghitung jarak pandang
  6. menghitung alinyemen vertikal
  7. perhitungan volume galian dan timbunan
B A B I I
D A S A R T E O R I

2.1 Uraian Umum
2.1.1 Pengertian Jalan
Jalan raya adalah jalur- jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran- ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk menyelurkan lalu lintas orang, hewan, dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat.
Jalan raya sebagai sarana pembangunan dalam membantu pembangunan wilayah adalah penting. Oleh karena itu pemerintah mengupayakan pembangunan jalan raya dengan lancar, efisien dan ekonomis.
Untuk perencanaan jalan raya yang baik, bentuk geometriknya harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya, sebab tujuan akhir dari perencanaan geometrik ini adalah menghasilkan infrastruktur yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan biaya juga memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan.
2.1.2 Klasifikasi Jalan
Pada umumnya jalan raya dapat dikelompokkan dalam klasifikasi menurut fungsinya, dimana pereturan ini mencakup tiga golongan penting, yaitu :
a. Jalan Arteri ( Utama )
Jalan raya utama adalah jalan yang melayani angkutan utama, dengan ciri- ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata- rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. Dalam komposisi lalu lintasnya tidak terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor. Jalan raya dalam kelas ini merupakan jalan- jalan raya berjalur banyak dengan konstruksi perkerasan dari jenis yang terbaik.
b. Jalan Kolektor ( Sekunder )
Jalan kolektor adalah jalan raya yang melayani angkutan pengumpulan/ pembagian dengan ciri- ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata- rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
Berdasarkan komposisi dan sifat lalu lintasnya dibagi dalam tiga kelas jalan,
yaitu :
1. Kelas II A
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan konstruksi permukaan jalan dari lapisan aspal beton atau yang setara.
2. Kelas II B
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan dari penetrasi berganda atau yang setara dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.
3. Kelas II C
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur denan konstruksi permukaan jalan dari penetrasi tunggal, dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan bermotor lambat dan kendaraan tak bermotor.
c. Jalan Lokal ( Penghubung )
Jalan penghubung adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan cirri- cirri perjalanan yang dekat, kecepatan rata- rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
Adapun tabel klasifikasi jalan raya adalah srbagai berikut :

KLASIFIKASI JALAN
JALAN RAYA UTAMA
JALAN RAYA SEKUNDER
JALAN PENGHUBUNG
 
 
I (A1)
II A (A2)
II B (B1)
II C (B2)
III
 
KLASSIFIKASI MEDAN
D B G
D B G
D B G
D B G
D B G
 
Lalu lintas harian rata- rata (smp)
> 20. 000
6.000 – 20.000
1500 – 8000
< 20.000
-
 
Kecepatan Rencana (km/jam)
120 100 80
100 80 60
80 60 40
60 40 30
60 40 30
 
Lebar Daerah Penguasaan min.(m)
60 60 60
40 40 40
30 30 30
30 30 30
20 20 20
 
Lebar Perkerasan (m)
Minimum 2 (2×3,75)
2×3.50 atau 2(2×3.50)
2x 3.50
2 x 3.00
3.50 – 6.00
 
Lebar Median minimum (m)
2
1.5
-
-
-
 
Lebar Bahu (m)
3.50 3.00 3.00
3.00 2.50 2.50
3.00 2.50 2.50
2.50 1.50 1.00
3.50 – 6.00
 
Lereng Melintang Perkerasan
2%
2%
2%
3%
4%
 
Lereng Melintang Bahu
4%
4%
6%
6%
6%
 
Jenis Lapisan Permukaan Jalan
Aspal beton ( hot mix )
Aspal Beton
Penetrasi Berganda/ setaraf
Paling tinggi penetrasi tunggal
Paling tinggi pelebaran jalan
 
 
Miring tikungan maksimum
10%
10%
10%
10%
10%
 
Jari- jari lengkung minimum (m)
560 350 210
350 210 115
210 115 50
210 115 50
115 50 30
 
Landai Maksimum
3 % 5 % 6 %
4 % 6 % 7 %
5 % 7 % 8 %
6 % 8 % 10 %
6 % 8 % 10 %
 
Tabel 2. 1 Tabel Klasifikasi Jalan Raya
Sumber : Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, Dept. PU




2.1.3 Volume Lalu Lintas
Volume lalu lintas menyatakan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu. Untuk mendapatkan volume lalu lintas tersebut, dikenal dua jenis Lalu Lintas Harian Rata-rata, yaitu :
a. Lalu Lintas Harian Rata- rata (LHR)
Jumlah kendaraan yang diperoleh selama pengamatan dengan lamanya pengamatan.

 
  clip_image002
b.. Lalu Lintas Harian Rata- rata Tahunan (LHRT)
Jumlah lalu lintas kendaraan yang melewati satu jalur selama 24 jam dan diperoleh
dari data satu tahun penuh.

 
  clip_image003
Pada umumnya lalu lintas pada jalan raya terdiri dari berbagai jenis kendaraan, baik kendaraan cepat, kendaraan lambat, kendaraan berat, kendaraan ringan, maupun kendaraan tak bermotor. Dalam hubungannya dengan kapasitas jalan, maka jumlah kendaraan bermotor yang melewati satu titik dalam satu satuan waktu mengakibatkan adanya pengaruh / perubahan terhadap arus lalu lintas. Pengaruh ini diperhitungkan dengan membandingkannya terhadap [engaruh dari suatu mobil penumpang dalam hal ini dipakai sebagai satuan dan disebut Satuan Mobil Penumpang ( Smp ).
Untuk menilai setiap kendaraan ke dalam satuan mobil penumpang ( Smp ), bagi jalan di daerah datar digunakan koefisien di bawah ini :
§ Sepeda = 0, 5
§ Mobil Penumpang = 1
§ Truk Ringan ( berat kotor < 5 ton ) = 2
§ Truk sedang > 5 ton = 2, 5
§ Bus = 3
§ Truk Berat > 10 ton = 3
§ Kendaraan tak bermotor = 7
Di daerah perbukitan dan pegunungan, koefisien untuk kendaraan bermotor di atas dapat dinaikkan, sedangkan untuk kendaraan tak bermotor tak perlu dihitung. Jalan dibagi dalam kelas yang penetapannya kecuali didasarkan pada fungsinya juga dipertimbangkan pada besarnya volume serta sifat lalu lintas yang diharapkan akan menggunakan jalan yang bersangkutan.
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Perencanaan Geometrik Jalan
Untuk perencanaan jalan raya yang baik, bentuk geometriknya harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberkan pelayanan yang optimal kepada lalu lintas, sebab tujuan akhir dari perencanaan geometrik ini adalah tersedianya jalan yang memerikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan.
Dalam merencanakan suatu konstruksi jalan raya banyak factor yang menjadi dasar atau pertimbangan sebelum direncanakannya suatu jalan. Factor itu antara lain :
1. Kendaraan Rencana
Dilihat dari bentuk, ukuran dan daya dari kendaraan – kendaran yang menggunakan jalan, kendaraan- kendaraan tersebut dapat dikelompokkan.
Ukuran kendaraan- kendaraan rencana adalah ukuran terbesar yang mewakili kelompoknya. Ukuran lebar kendaraan akan mempengaruhi lebar jalur yang dbituhkan. Sifat membelok kendaraan akan mempengaruhi perencanaan tikungan. Daya kendaraan akan mempengaruhi tingkat kelandaian yang dipilih, dan tingi tempat dududk ( jok ) akan mempengaruhi jarak pandang pengemudi.
Kendaraan yang akan digunakan sebagai dasar perencanaan geometric disesuaikan dengan fungsi jalan dan jenis kendaraan yang dominan menggunakan jalan tersebut. Pertimbangan biaya juga ikut menentukan kendaraan yang dipilih.
2. Kecepatan Rencana Lalu Lintas
Kecepatan rencana merupakan factor utama dalam perencanaan suatu geometric jalan. Kecepatan yaitu besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendaraan dibagi waktu tempuh.
Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan perencanaan setiap bagian jalan raya seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak pandang dll. Kecepatan maksimum dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman dan keamanan itu sepenuhnya tergantung dari bentuk jalan, kecepatan rencana haruslah sesua dengan tipe jalan dan keadaan medan.
Suatu jalan yang ada di daerah datar tentu saja memiliki design speed yang lebih tinggi dibandingkan pada daerah pegunungan atau daerah perbukitan.
Adapun faktor - faktor yang mempengaruhi kecepatan rencana tergantung pada :
a. Topografi ( Medan )
Untuk perencanaan geometric jalan raya, keadaan medan memberikan batasan kecepatan terhadap kecepatan rencana sesuai dengan medan perencanaan ( datar, bbukit, dan gunung ).
b. Sifat dan tingkat penggunaan daerah
Kecepatan rencana untuk jalan- jalan arteri lebih tinggi dibandingkan jalan kolektor.
3. Kelandaian
Adanya tanjakan yang cukup curam dapat mengurangi laju kecepatan dan bila tenaga tariknya tidak cukup, maka berat kendaraan ( muatan ) harus dikurangi, yang berarti mengurangi kapasitas angkut dan mendatangkan medan yang landai.
2. 2 Perencanaan Geometrik Jalan Raya
2.2.1 Perencanaan Alinyemen Horizontal ( Trase Jalan )
Dalam perencanaan jalan raya harus direncanakan sedemikian rupa sehingga jalan raya itu dapat memberikan pelayanan optimum kepada pemakai jalan sesuai dengan fungsinya.
Untuk mencapai hal tersebut harus memperhatikan perencanaan alinyemen horizontal ( trase jalan ) yaitu garis proyeksi sumbu jalan tegak lurus pada bidang peta yang disebut dengan gambar situasi jalan.
Trase jalan terdiri dari gabungan bagian lurus yang disebut tangen dan bagian lengkung yang disebut tikungan. Untuk mendapatkan sambungan yang mulus antara bagian lurus dan bagian tikungan maka pada bagian- bagian tersebut diperlukan suatu bagian pelengkung peralihan yang disebut “spiral”.
Bagian yang sangat kritis pada alinyemen horizontal adalah bagian tikungan, dimana terdapat gaya yang akan melemparkan kendaraan ke luar dari tikungan yang disebut gaya sentrifugal.
Beradasarkan hal tersebut di atas, maka dalam perencanaan alinyemen pada tikungan ini agar dapat memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pengendara, maka perlu dipertimbangkan hal- hal berikut :
a. Ketentuan- ketentuan dasar
Pada perencanaan geometrik jalan, ketentuan- ketentuan dasar ini tercantum pada daftar standar perencanaan geometric jalan merupakan syarat batas, sehingga penggunaannya harus dibatasi sedemikian agar dapat menghasilkan jalan yang cukup memuaskan.
b. Klasifikadi medan dan besarnya lereng (kemiringan)
Klasifikasi dari medan dan besar kemiringan adalah sebagai berikut :

Klasifikasi Medan
kemiringan (%)
Datar ( D )
0 - 9.9
Bukit ( B )
10 - 24.9
Gunung ( G )
> 25, 0
Tabel 2. 2 Tabel Klasifikasi Medan dan Besar Kemiringan
Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan Raya, Dept. PU
2.2.2 Jenis- jenis Lengkungan Peralihan
Dalam suatu perencanaan alinyeman horizontal kita mengenal ada 3 macam bentuk lengkung horizontal antara lain :
1. Full Circle
Bentuk tikungan ini adalah jenis tikungan yang terbaik dimana mempunyai jari- jari besar dengan sudut yang kecil. Pada pemakaian bentuk lingkaran penuh, batas besaran R minimum di Indonesia ditetapkan oleh Bina Marga sebagai berikut :

Kecepatan rencana ( km/ jam )
Jari- jari lengkungan minimum ( meter )
 
 
120
2000
 
100
1500
 
80
1100
 
60
700
 
40
300
 
30
100
 
Tabel 2. 3 Tabel Jari- jari Lengkung Minimum dan kecepatan rencana
Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan Raya, NOVA
Gambar Lengkung Peralihan :
clip_image005









Gambar 2. 1 Full Circle
Keterangan :
PI = Nomor Station ( Point of Interaction )
R = Jari- jari tikungan ( meter )
Δ = Sudut tangen ( o )
TC = Tangent Circle
CT = Circle Tangen
T = Jarak antara TC dan PI
L = Panjang bagian tikungan
E = Jarak PI ke lengkung peralihan

Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan Raya, PEDC Bandung

Perhitungan Data Kurva
clip_image006

       
  clip_image007
 
  clip_image008
 
  clip_image009



Syarat Pemakaian :
a. Tergantung dari harga V rencana
b. Δ C = 0
c. Lc = 20
2. Spiral – Circle - spiral ( S – C – S )
Lengkung spiral pada tikungan jenis S - C – S ini adalah peralihan dari bagian tangen ke bagian tikungan dengan panjangnya diperhitungkan perubahan gaya sentrifugal.
clip_image011
Adapun jari- jari yang diambil adalah sesuai dengan kecepatan rencana yang ada pada daftar I perencanaan geometric jalan raya.
Gambar 2. 2 Spiral Circle Spiral
Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan Raya, PEDC. Bandung
Keterangan :
Ts = Titik perubahan dari tangen ke spiral
SL = Titik Perubahan dari spiral ke Lingkaran
L = Panjang Bagian spiral ke Tengah
TC = Tangen Circle
ST = Perubahan dari spiral ke tangen
Ls = Panjang total spiral dari Ts sampai SL
Δ = Sudut lengkungan
Tt = Panjang tangen total yaitu jarak antara RP dan ST
Et = Jarak tangen total yaitu jarak antara RP dan titik tangen busur lingkaran
Perhitungan Data Kurva
Dari Tabel J. Bernett diperoleh nilai e dan Ls
clip_image012

       
    clip_image013
  clip_image014
 
clip_image015clip_image016clip_image017

     
  clip_image018
 
  clip_image019
       
  clip_image020
 
  clip_image021
 
  clip_image022
Syarat Pemakaian :
a. Ls min ≤ Ls
b. Apabila R untuk circle tidak memenuhi untuk kecepatan tertentu
c. Δ C > 0
d. Lc > 20
e. L = 2 Ls + Lc < 2 Tt
Catatan :
3 Untuk mendapatkan nilai P* dan K* dapat dilihat pada tabel J. Bernett berdasarkan nilai θs yang didapatkan.
3 Nilai c adalah nilai untuk perubahan kecepatan pada tikungan = 0, 4 m/ detik.
3. Spiral – Spiral ( S – S )
clip_image024
Penggunaan lengkung spiral – spiral dipakai apabila hasil perhitungan pada bagian lengkung S – C – S tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan. Bentuk tikungan ini dipergunakan pada tikungan yang tajam.
Gambar 2. 3 Spiral – spiral

Perhitungan Data Kurva

                 
  clip_image025
 
  clip_image026
 
  clip_image027
 
    clip_image028
 
    clip_image029
 
    clip_image030
 
    clip_image031
 
    clip_image032
Syarat Pemakaian :
Kontrol perhitungan 2 Ls < 2 Tt
2. 2. 3 Penampang Melintang
Penampang melintang jalan adalah potongan suatu jalan tegak lurus pada as jalan yang menunjukkan bentuk serta susunan bagian- bagian jalan yang bersangkutan dalam arah melintang. Maksud dari penggambaran profil melintang disamping untuk memperlihatkan bagian- bagianjalan juga untuk membantu dalam menghitung banyaknya galian dan timbunan sesuai dengan rencana jalan dengan menghitung luas penampang melintang jalan.
2. 2. 4 Kemiringan pada Tikungan ( Super Elevasi )
Pada suatu tikungan jalan, kendaraan yan lewat akan terdorong keluar secara radial oleh gaya sentrifugal yang diimbangi oleh :
· Komponen yang berkendaraan yang diakibatkan oleh adanya super elevasi dari jalan
· Gesekan samping antara berat kendaraan dengan perkerasan jalan.
Kemiringan superelevasi maksimim terdapat pada bagian busur tikungan sehingga perlu diadakan perubahan dari kemiringan maksimum berangsur- angsur ke kemiringan normal.
Dalam melakukan perubahan pada kemiringan melintang jalan, kita mengenal tiga metode pelaksanaan, yaitu :
a. Mengambil sumbu as jalan sebagai sumbu putar

 
  clip_image033
Gambar 2. 4 Sumbu as jalan sebagai sumbu putar
b. Mengambil tepi dalam jalan sebagai sumbu putar.

 
  clip_image034
Gambar 2. 5 Tepi jalan sebagai sumbu putar
c.clip_image035 Mengambil tepi luar jalan sebagai sumbu putarclip_image036
Gambar 2. 6 Tepi luar jalan sebagai sumbu putar
Sedangkan bentuk – bentuk dari diagram superelevasi adalah sebagai berikut :
1. clip_image037clip_image038Diagram superelevasi pada F – C
    clip_image039
- e max kiri
Bagian lurus Bagian Lengkung Bagian lurus
+en -en 0% -en e maks.
Potongan I Potongan II Potongan II
Gambar 2. 7 Diagram superelevasi pada F – C

2. Diagram superelevasi pada S – C – Sclip_image040clip_image041
I II III – e max kanan
- e max kiri
Potongan I Potongan II Potongan III
Gambar 2. 8 Diagram superelevasi pada S – C – S
3. Diagram superelevasi pada S – S

 
  clip_image035[2]
clip_image042clip_image043clip_image044 TS SC=CS TS
Kiri
clip_image045clip_image045[1]clip_image046clip_image047Sb.Jln
-2% Kanan -2%
LS L
Gambar 2. 9 Diagram Superelevasi pada S – S
2. 2. 5 Pelebaran Perkerasan pada Tikungan ( Widening )
Untuk membuat tikungan pelayanan suatu jalan tetap sama, baik pada bagian lurus maupun tikungan, prlu diadakan pelebaran pada perkerasan tikungan. Pelebaran perkerasan pada tikungan tergantung pada :
a. Jari- jari tikungan ( R )
b. Sudut tikungan ( Δ )
c. Kecepatan Tikungan ( Vr )



Rumus Umum :
clip_image048
Dimana :
B = lebar perkerasan pada tikungan ( m )
n = jumlah jalur lalu lintas
b’ = lebar lintasan truk pada tikungan
Td = lebar melintang akibat tonjolan depan
Z = lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi
C = kebebasan samping ( 0, 8 ) m
Rumus :

       
  clip_image049
 
  clip_image050
 
  clip_image051
Dimana :
R = jari- jari tikungan
P = jarak ban muka dan ban belakang ( 6, 1 )
A = jarak ujung mobil dan ban depan ( 1, 2 )
Vr = keecepatan rencana
Rumus :

 
  clip_image052
Dimana :
B = lebar jalan
L = lebar badan jalan ( Kelas II B = 7, 0 )
Syarat :
Bila B ≤ 7 tidak perlu pelebaran
Bila B > 7 perlu pelebaran
2. 3 Alinement Vertikal ( Profil Memanjang )
Alinement vertikal adalah garis potong yang dibentuk oleh bidang vertical melalui sumbu jalan. Profil ini menggambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap muka yanah asli, sehingga memberikan gambaran terhadap kemampuan kendaraan naik atau turun dan bermuatan penuh.
Pada alinyemen vertical bagian yang kritis adalah pada bagian lereng, dimana kemampuan kendaraan dalam keadaan pendakian dipengaruhi oleh panjang kritis, landai dan besarya kelandaian. Maka berbeda dengan alinyemen horizontal, disini tidak hanya pada bagian lengkung, tetapi penting lurus yang pada umumnya merupakan suatu kelandaian.
2. 3. 1 Landai Maksimum dan Panjang Maksimum Landai
Landai jalan adalah suatu besaran untuk menunjukkan besarnya kenaikan atau penurunan vertical dalam satu satuan jarak horizontal ( mendatar ) dan biasanya dinyatakan dalam persen ( % ).
Maksud dari panjang kritis landai adalah panjang yang masih dapat diterima kendaraan tanpa mengakibatkan penurunan kecepatan truck yang cukup berarti. Dimana untuk panjang kelandaian cukup panjang dan mengakibatkan adanya pengurangan kecepatan maksimum sebesar 30 – 50 % kecepatan rencana selama satu menit perjalanan.
Kemampuan kendaraan pada kelandaian umumnya ditentukan oleh kekuatan mesin dan bagian mekanis dari kendaraan tersebut. Bila pertimbangan biaya menjadi alasan untuk melampaui panjang kritis yang diizinkan, maka dapat diterima dengan syarat ditambahkan jalur khusus untuk kendaraan berat.
Syarat panjang kritis landai maksimum tersebut adalah sebagai berikut :

Landai maksimum (%)
3
4
5
6
7
8
10
12
Panjang Kritis
400
330
250
200
170
150
135
120
Tabel 2. 4 Syarat Panjang Kritis Landai Maksimum

Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan Raya, Dept. PU
2. 3. 2 Lengkung Vertikal
Pada setiap penggantian landai harus dibuat lengkung vertical yang memenuhi keamanan, kenyamanan, dan drainage yang baik. Lengkung vertical yang digunakan adalah lengkung parabola sederhana. Lengkung vertical adalah suatu perencanaan alinyemen vertical untuk membuat suatu jalan tidak terpatah- patah.
a. Lengkung vertical cembungclip_image053
½ LV ½ LV

 
  clip_image054
½ LV
½ LV
Gambar 2. 10 Lengkung Vertikal Cembung
b. Lengkung vertical cekung

 
  clip_image055
½ LV ½ LV

 
  clip_image056
½ LV ½ LV
Gambar 2. 11 Lengkung Vertikal Cekung
Pada lengkung vertical cembung yang mempunyai tanda ( + ) pada persamaannya dan lengkung vertical cekung yang mempunyai tanda ( – ) pada persamaannya. Hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Pada alinyemen vertical tidak selalu dibuat lengkungan dengan jarak pandangan menyiap, tergantung pada medan, klasifikasi jalan, dan biaya.
b. Dalam menentukan harga A = G1 – G2 terdapat 2 cara dalam penggunannya, yaitu :
· Bila % ikut serta dihitung maka rumus yang dipergunakan adalah seperti di atas.
· Bila % sudah dimasukkan dalam rumus, maka rumus menjadi :

 
  clip_image057
2. 3. 3 Jarak Pandang

Jarak pandang adalaha jarak dimana pengemudi dapat melihat benda yang menghalanginya, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dalam batas mana pengemudi dapat melihat dan menguasai kendaraan pada satu jalur lalu lintas. Jarak pandang bebas ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
a. Jarak Pandang Henti ( dh )
Jarak pandang henti adalah jarak pandang minimum yang diperlukan pengemudi untuk menghentikan kendaraan yang sedang berjalan setelah melihat adanya rintangan pada jalur yang dilaluinya. Jarak ini merupakan dua jarak yang ditempuh sewaktu melihat benda hingga menginjak rem dan jarak untuk berhenti setelah menginjak rem.
clip_image058 Rumus :

   
  clip_image059
 
  clip_image060
Dimana :
dh = jarak pandang henti
dp = jarak yang ditempuh kendaraan dari waktu melihat benda dimana harus berhenti sampai menginjak rem
dr = jarak rem
Vr = kecepatan rencana ( km/ jam )
L = kelandaian
Fm = koefisien gesek maksimum
= – 0, 000625 . Vr + 0, 19
( + ) = pendakian
( – ) = penurunan


b. Jarak Pandang Menyiap ( dm )
Jarak pandang menyiap adalah jarak yang dibutuhkan untuk menyusul kendaraan lain yang digunakan hanya pada jalan dua jalur. Jarak pandang menyiap dihitung berdasarkan panjang yang diperlukan untuk melakukan penyiapan secara normal dan aman.
Jarak pandang menyiap ( dm ) untuk dua jalur dihitung dari penjumlahan empat jarak.
Rumus :

 
  clip_image061
Dimana :
dl = jarak yang ditempuh selama kendaraan menyiap
= 0,278. tr ( V – m + ½ . a. tr )
d2 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan menyiap selama dijalur kanan
= 0, 278 . Vr. t2
d3 = jarak bebas antara kendaraan yang menyiap dengan kendaraan yang datang
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang dating
= 2/3 . d2
V = kecepatan rencana
tr = waktu ( 3, 7 – 4, 3 ) detik
t2 = waktu ( 9, 3 – 10, 4 ) detik
m = perbedaan kecepatan ( 15 km/ jam )
a = percepatan rata- rata ( 2, 26 – 2, 36 )
2. 4 Galian dan Timbunan
Pada perencanaan jalan raya, diusahakan agar volume galian dan timbunan sama. Dengan mengkombinasikan antara alinyemen vertical dan horizontal, memungkinkan kita untuk menghitung banyaknya volume galian dan timbunan pada suatu pekerjaan konstruksi jalan raya.
Langkah- langkah dalam menghitung volume galian dan timbunan adalah sebagai berikut :
1. Penentuan station ( jarak patok ), sehingga diperoleh panjang orizontal jalan dari alinyemen horizontal.
2. Menggambarkan profil memanjang yang memperlihatkan perbedaan muka tinggi tanah asli dengan tinggi tanah asli dengan tinggi muka perkerasan yang akan direncanakan.
3. Menggambarkan profil melintang pada setiap titik station sehingga dapat dihitung luas penampang galian dan timbunan.
4. Menghitung volume galian dan timbunan dengan menggunakan cara koordinat. Masukkan koordinat x dan y yang selanjutnya dijumlahkan masing – masing titik. Dari hasil perkalian tersebut untuk mendapatkan luasnya dikalikan ½ hasil totalnya lalu dikalikan dengan jarak patok untuk mendapatkan volume pekerjaan.
2. 5 Perencanaan Tebal Perkerasan
2. 5. 1 Uraian Umum
Jenis konstruksi perkerasan yang akan dibahas adalah konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat, lapisan- lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
2. 5. 2 Umur Rencana
Umur rencana perekerasan jalan ditentukan atas dasar pertimbangan- pertimbangan klasifikasi fungsional jalan, pola lalu lintas serta nilai ekonomi jalan yang bersangkutan, yang tidak terlepas, yang tidak terlepas dari pola pengembangan wilayah.
2. 5. 3 Lalu Lintas
Lalu lintas harus dianalisa berdasarkan atas :
· Hasil perhitungan volume lalu lintas dan komposisi beban sumbu berdasarkan data terakhir ( ≤ 2 tahun terakhir ) dari pos- pos resmi setempat
· Kemungkinan perkembangan lalu lintas sesuai dengan kondisi dan potensi- potansi social ekonomi daerah yang bersangkutan, serta daerah- daerah lainnya yang berpengaruh terhadap jalan yang direncanakan, agar pendugaan atas tingkat perkembangan lalu lintas ( I ) serta sifat- sifat khususnya dapat dipertanggungjawabkan.
2. 5. 4 Konstruksi Jalan
Konstruksi jalan terdiri dari tanah dan perkerasan jalan. Penempatan besaran rencana tanah dasar dan material- material yang akan menjadi bagian dari konstruksi perkerasan, harus didasarkan atas penilaian hasil survey dan penyelidikan laboratorium oleh seorang ahli.
Bagian perkerasan jalan umumnya meliputi :
3 Lapis pondasi bawah ( sub base )
3 Lapis Pondasi ( base )
3 Lapis permukaan ( surface course )

 
  clip_image063
Gambar 2. 12 Bagian- bagian perkerasan jalan

Sumber : Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan, Dept. PU
2. 5. 4. 1 Tanah Dasar
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat- sifat dan daya dukung tanah dasar. Dari bermacam- macam cara pemeriksaan untuk menentukan kekuatan tanah dasar, yang umum sigunakan adalah cara CBR. Dalam hal ini digunakan nomogram penetapan tebal perkerasan, maka harga CBR tersebut dapat dikorelasikan terhadap daya dukung tanah ( DDT ).
Penentuan daya dukung tanah dasar berdasarkan evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium tidak dapat mencakup secara detail sifat- sifat dan daya dukung tanah dasar sepanjang suatu bagian jalan. Koreksi- koreksi perlu dilakukan baik dalam tahap perencanaan detail maupun pelaksanaan sesuai dengan kondisi setempat.
2. 5. 4. 2 Lapis Pondasi Bawah (LPB)
Fungsi lapis pondasi bawah antara lain :
1. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban roda
2. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan- lapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya
3. Untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi
4. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar
Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap roda- roda alat- alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca.
2. 5. 4. 3 Lapis Pondasi Atas ( LPA )
Fungsi lapis pondasi atas antara lain :
1. Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda
2. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan
Bahan – bahan untuk lapis pondasi umumnya harus cukup kuat dan awet sehingga dapat menahan beban- beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan sebaik- baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik.
Bahan alam yang dapat digunakan sebagai bahan pondasi antara lain batu pecah, kerikil pecah, stabilisasi tanah dengan semen atau kapur.
2. 5. 4. 4 Lapis Permukaan (Surface Course)
Fungsi lapis pondasi permukaan antara lain :
1. Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda
2. Sebagai lapisan rapat air untuk melidungi badan jalan dari kerusakan akibat cuaca
3. Sebagai lapisan aus
Bahan untuk lapisan permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapis pondasi dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan beban roda lalu lintas.
2. 5. 5 Penentuan Besaran Rencana
2. 5. 5.1 Persentase Kendaraan pada Jalur Rencana
Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan raya, yang menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas jalur ditentukan dari lebar perkerasan menurut tabel di bawah ini :

Lebar Perkerasan
Jumlah Jalur ( m )
L < 5, 50 m
5, 50 m ≤ L < 8, 25 m
8, 25 m ≤ L < 11, 25 m
11, 25 m ≤ L < 15, 00 m
15, 00 m ≤ L < 18, 75 m
18, 75 m ≤ L < 22, 00 m
1 jalur
2 jalur
3 jalur
4 jalur
5 jalur
6 jalur
Tabel 2. 5 Hubungan lebar perkerasan dan jumlah jalur

Sumber : Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan, Dept. PU
Koefisien distribusi (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut tabel di bawah ini :

Jumlah Jalur
Kendaraan Ringan *
Kandaraan Berat **
1 arah
2 arah
1 arah
2 arah
1 jalur
2 jalur
3 jalur
4 jalur
5 jalur
6 jalur
1, 00
0, 60
0, 40
1, 00
0, 50
0, 40
0, 30
0, 25
0, 20
1, 00
0, 70
0, 50
1, 00
0, 50
0, 475
0, 45
0, 425
0, 40

Keterangan :
* berat total < 5 ton misalnya mobil penumpang dan pick up
** berat total ≥ 5 ton misalnya bus, truck, traktor, semi trailer, trailer
Tabel 2. 6 Tabel Koefisien distribusi

Sumber : Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan, Dept. PU
2. 5. 5. 2 Angka Ekivalen
Angka ekivalen ( E ) masing- masing golongan beban sumbu ( setiap kendaraan ) ditentukan menurut rumus di bawah ini :

 
  clip_image064
 
  clip_image065
2. 5. 5. 3 Lalu Lintas
1. Lalu lintas Harian Rata- rata ( LHR ) setiap jenis kendaraan ditentukan pada awal umur rencana yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa median atau masing- masing arah pada jalan dengan median
2. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) dihitung dengan rumus :

 
  clip_image066
3. Lintas Ekivalen Akhir (LEA) dihitung dengan rumus :
clip_image067
4. Lintas Ekivalen Tengah ( LET ) dihitung dengan rumus :
clip_image068

 
  clip_image069


5. Lintas Ekivalen Rencana ( LER ) dihitung dengan rumus :

           
    clip_image070
  clip_image071
    clip_image072
 
 



2. 5. 5. 4 Daya Dukung Tanah Dasar
Daya dukung tanah dasar ( DDT ) ditetapkan berdasarkan grafik kolerasi. Sementara ini dianjurkan untuk mendasarkan daya dukung tanah hanya kepada pengekuran nilai CBR.
Untuk mendapatkan CBR rata- rata yang tidak terlalu merugikan, maka disarankan agar dapat merencanakan perlerasan suatu ruas jalan perlu dibuat segmen- segmen dimana beda atau variasi CBR dari suatu segmen tidak besar.
2. 5. 5. 5 Faktor Regional
Seperti diketahui bahwa rumus- rumus dasar daripada pedoman perencanaan perkerasan ini diambil dari hasil percobaan AASHTO dengan kondisi percobaab tertentu. Karena kanyataan di lapangan yang dihadapi mungkin tidak sama kondisinya dengan kondisi AASHTO maka perlu diperhitungkan apa yang disebut factor regional sebagai factor koreksi sehubungan dengan perbedaab kondisi tersebut. Kondisi yang dimaksud antara lain keadaan lapangan dan iklim yang dapat memepengaruhi keadaan pembebanan, daya dukung tanah dasar dan perkerasan.
Dengan demikian dalam penentuan tebal perkerasan ini factor regional hanya dipengaruhi oleh bentuk alinyemen (kelandaian dan tikungan), persentase kendaraan berat dan yang berhenti, serta iklim dan curah hujan.
2. 5. 5. 6 Indeks Permukaan
Ciri khas dari cara perencanaan perkerasan adalah dipergunakannya indeks permukaan (IP) sebagai ukuran dasar dalam menentukan nilai perkerasan ditinjau dari kepentingan lalu lintas, indeks permukaan ini menyatakan nilai dari kerataan/ kehalusan serta kekokohan permukaan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat.
Adapun beberapa nilai IP serta artinya adalah sebagai berikut :
IP = 1, 0 Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan.
IP = 1, 5 Menyatakan tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin.
IP = 2, 0 Menyatakan tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih mantap.
IP = 2, 5 Menyatakan permukaan jalan masih cukup baik dan stabil.
Dalam menentukan Indeks Permukaan (IP) pada akhir umur rencana, perlu dipertimbangkan factor- factor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana (LER), menurut daftar di bawah ini :

LER ( Lintas Ekivalen Rencana )
Klasifikasi Jalan
Lokal
Kolektor
Arteri
Tol
< 10
10 – 100
100 – 1000
> 1000
1,0 – 1,5
1,5
1,5 – 2,0
-
1,5
1,5 – 2,0
2, 0
1,0 – 2,5
1,5 – 2,0
2, 0
2,0 – 2,5
2,5
-
-
2, 5
Tabel 2. 7 LER dan klasifikasi fungsional jalan
Sumber : Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan, Dept. PU
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (Ipo), perlu dipoerhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana, menurut daftar dibawah ini :
Indeks Permukaan pada awal umur rencana (Ipo)

Jenis Lapisa Permukaan
Ipo
Roughness (mm/km)
Laston
Lasbutag
HRA
Burda
Burtu
Lapen
Latasburn
Buras
Latasir
Jalan Tanah
Jalan Kerikil
> 4
3,9 – 3,5
3,9 – 3,5
3,4- -3,0
3,9 – 3,5
3,4 – 3,0
3,9 – 3,5
3,4 – 3,0
3,4 – 3,0
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
<2,4
<2,4
< 1000
> 1000
< 2000
> 2000
< 2000
> 2000
< 2000
> 2000
< 3000
> 3000
Tabel 2.8
Sumber : Pedoman Penentuan Tabel Perkerasan
2. 5. 6 Penentuan Besaran Rencana
2. 5. 6.1 Persentase Kendaraan pada Jalur Rencana
Indeks Tebal Perkerasan ( ITP ) dinyatakan dengan rumus :
ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3
a1a2a3 = Koefisien kekuatan relatif bahan-bahan perkerasan
D1D2D3 = tebal masing-masing perkerasan (cm)
Angka-angka 1,2,3 masing- masing berarti lapis permukaan, lapis pondasi atas, lapis pondasi bawah.
2. 5. 6.2 Koefisien Kekuatan Relatif
Koefisien kekuatan relatif masing-masing bahan dan kegunaannya sebagai lapis permukaan, pondasi atas dan pondasi bawah ditentukan secara korelasi sesuatu dengan marshall test, kuat tekan atau CBR.
Daftar dibawah ini menunjukkan nilai koefisien relatif dari tiap-tiap lapisan .

Koefisien
       
Kekuatan
Kekuatan Bahan
Jenis Bahan
Relatif
       
a1
a2
a3
MS
Kt
CBR
 
      (Kg)
Kg/cm2
(%)
 
0,40
    744
     
0,35
    590
     
0,32
    454
    LASTON
0,30
    340
     
0,35
    744
     
0,31
    590
     
0,28
    454
    Asbuton
0,26
    340
     
0,30
    340
    Hot Rolled Asphalt
0,26
    340
    Aspal macadan
0,25
          LAPEN (mekanis)
0,20
          LAPEN (manual)
  0,28
         
  0,26
        LASTON ATAS
  0,24
         
  0,23
        LAPEN (mekanis)
  0,19
        LAPEN (manual)
  0,15
  22
    Stabilitas tanah dengan kapur
  0,13
  18
     
  0,15
  22
    Stabilitas tanah dengan semen
  0,13
  18
     
  0,14
    100
  Pondasi Macadam (Basah)
  0,12
    60
  Pondasi Macadam (Kering)
  0,14
    100
  Batu Pecah (Kelas A )
  0,13
    80
  Batu Pecah (Kelas B )
  0,12
    60
  Batu Pecah (Kelas C )
    0,13
  70
  Sirtu / Pitrun (Kelas A)
    0,12
  50
  Sirtu / Pitrun (Kelas B)
    0,11
  30
  Sirtu / Pitrun (Kelas C)
    0,10
  20
  Tanah/ Lempung Kepasiran
Catatan : Kuat Tekan stabilisasi tanah dengan semen diperiksa pada hari ke-7
Kuat Tekan stabilisasi tanah dengan kapur diperiksa pada hari ke- 21
Tabel 2.9
Sumber : Pedoman Penentuan tebal Perkerasan, Dept PU

2. 5. 6.3 Batas-batas minimum tebal lapisan
1. Lapis Permukaan

ITP
Tebal
Minimum
(cm)
Bahan
<,3,00
3,00 – 6,70
6, 1 – 7,49
7,50 – 9,99
>10,00
5
7,5
7,5
10
Lapis pelindung/BURAS,BURTU,BURDA
LAPEN/aspal macadam,HRA,asbuton,LASTON
LAPEN/aspal macadam,HRA,asbuton,LASTON
Lapis pelindung/BURAS,BURTU,BURDA
LASTON
Tabel 2.10
Tabel Lapisan Permukaan
2. Lapis Pondasi

ITP
Tebal
Bahan
  Minimum
 
  (cm)
 
<3,00
15
Batu Pecah, Stabilitas tanah dengan semen,
    Stabilitas tanah dengan kapur
3,00 – 7,49
20
Batu Pecah,Stabilitas tanah dengan semen,
    Stabilitas tanah dengan kapur
  10
LASTON ATAS
7,50 – 9,99
20*)
Batu Pecah, Stabilitas tanah dengan semen,
    Stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam
  15
LASTON ATAS
10,0 – 12,24
20
Batu Pecah, Stabilitas tanah dengan semen,
    Stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam
    LAPEN, LASTON ATAS
>12,25
25
Batu Pecah, Stabilitas tanah dengan semen,
    Stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam
    LAPEN, LASTON ATAS
*) Batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi bawah digunakan materrial berbutir kasar.
§ clip_image073clip_image074clip_image075Penentuan Kelas Jalan raya P
§ Penentuan Faktor yang E
clip_image076clip_image077clip_image078clip_image077[1] Mempengaruhi Perenc, Geometrik M
§ Kendaraan Rencana A
§ Kecepatan Rencana N
§ clip_image079clip_image080clip_image081clip_image080[1]clip_image082clip_image083clip_image084clip_image085Kelandaian T
A
U A
N
d
a
n
E
V
clip_image086 A
§ Perencanaan Alinement Horizontal L
Q Perenc. Kontur dan Trase Jalan U
Q Penentuan Type Tikungan A
Q Kemiringan Tikung Superelevasi S
Q Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan I
§ Perencanaan Alinement Vertikal
§ Penggambaran Profil Memanjang
§ clip_image087Penentuan Lengkung Vertikal
§ Perhitungan Jarak Pandang
§ clip_image088Penggambaran Profil Melintang
§ Perhitingan Galian Timbunan
clip_image089

 
  clip_image090
clip_image091
GAMBAR


BAB III
PERHITUNGAN DAN PERENCANAAN

3.1 Standar perencanaan geometrik jalan
Direncanakan suatu konstruksi jalan raya dengan kelas jalan III dengan tinggi kota A = 880 m dan tinggi kota B = 865 m yang dilihat dan dihitung berdasarkan garis kontur yang tersediah dengan memakai skala 1:1000. Dalam menentukan tinggi dari setiap petak pada trase jalan didasarkan pada letak patok pada gambar kontur yang kita buat. Sedangkan untuk membuat kemiringan didasarkan pada beda tinggi antara 2 patok. Pada pembuatan trase jalan nin didapatkan data sebagai berikut :
2+2,5+0,5+1,3+2,2+2,9+1+1,4+3,9+0,8+1+2,4+2,2+1+0,6+0,9+0,4+1,8+1 +0,9 +1,2+1+1+0,9+1,3+0,5+0,8
clip_image092 =
18
= 1,385
Jarak sebenarnya = 1,385 x 10.000
= 138,5 m
Klasifikasi medan = clip_image094
= clip_image096
Berdasarkan klasifikasi medan maka daerah ini ternasuk daerah Datar dengan kemiringan 7,22 % lebih kecil dari 25 %.
Dan berdasarkan standar geometrik jalan kelas II C pada medan datar didapatkan data-data pengukuran sebagai berikut :
Kecepatan rencana = 60 km/jam
Lebar daerah penguasaan = 30 m
Lebar perkerasan = 2 x 3,00 m
Lebar bahu jalan = 2,5 m
Lereng melintang bahu = 6 %
Lebar melintang perkerasan = 3 %
Miring tikungan maks. = 10 %
Jari jari lengkung min. = 210 m
Landai maksimum = 6 %
Menentukan jari – jari tikungan
clip_image001 Tikungan II
clip_image097clip_image098clip_image099clip_image100clip_image101 (23,4;8,2) x = clip_image103
R = clip_image105
R (29,1;6,7) = 4,391 cm
clip_image106 R = clip_image108
clip_image109clip_image110(2,6;2,6) x = clip_image112
clip_image113(22,8;0,4) (26,6;2,3) = 589,4 m
clip_image001[1] Tikungan I
clip_image114clip_image115clip_image116clip_image117clip_image118 (6,6;7) x = clip_image120
= clip_image122
R = 2,343 cm
R = clip_image124
clip_image125(3;6,5) (6,4;3,4) = clip_image127
x
= 3,61 cm
(1,6;5)clip_image128 (3,4;3,5) = 361 m
clip_image129Menentukan sudut tikungan
clip_image001[2] clip_image130Tikungan I (6,4;3,4)
clip_image131clip_image132(3;6,5)
clip_image133clip_image134clip_image135clip_image136clip_image137
θ1 θ2 Δ1
(1,6;5) (3,4;3,5)
θ1 = Arc Tg clip_image139 = 82,4050
θ2 = Arc Tg clip_image141 = 1,9090
Δ1 = θ1+ θ2 = 82,4050 + 1,9090 = 84,3140
clip_image001[3] Tikungan II
clip_image142clip_image143 (29,1;6,7)
clip_image131[1]clip_image132[1](21,6;2,6)
clip_image133[1]clip_image136[1]clip_image137[1]
θ1 θ2
(22,8;0,4)
(26,6;2,3)
θ1 = Arc Tg clip_image145 = 3,4340
θ2 = Arc Tg clip_image147 = 60,3960
Δ1 = θ1+ θ2 = 3,4340 + 60,3960 = 63,8300
3.2 Perhitungan dan penetuan type tikungan
3.2.1 Penentuan type tikungan
clip_image148
clip_image149
Tidak memenuhi
clip_image150clip_image151clip_image152 Rc < R min.

       
    clip_image153
  clip_image154
 
Memenuhi Tidak memenuhi
clip_image001[4] Δc < 0o
clip_image001[5] Lc < 20 m
clip_image001[6] 2Ls Lc < Memenuhi
clip_image155clip_image156clip_image157
Bagan Proses Penentuan Jenis Tikungan
3.2.2 Perhitungan tikungan
clip_image001[7] Tikungan I
    1. Dengan Full Circle (F – C)
R = 361 m < 700 m ® Tidak memenuhi
    1. Dengan Spiral Circle Spiral (S – C – S)
R = 361 m
V = 60 km/jam
Ls min. = 40 ® Tabel 1.1 (interpolasi)
e = 5,17 %
Ls = 0,022 x clip_image159 – 2,727 x clip_image161
Ls = 0,022 x clip_image163 – 2,727 x clip_image165
= 11,761 m < Ls min
Jadi digunakan Ls terbesar = 40 m
θs = clip_image167 = clip_image169 = 3,1740
Δc = Δ – 2θs
= 64,340 – 2(3,1740) = 77,9660 > 00 (OK)
Lc = 0,017453 x ∆c x R
= 0,017453 x 77,966º x 361
= 491,227 m > 20 (OK) …… Jadi yang digunakan tikungan S-C-S.
clip_image001[8] Tikungan II
    1. Dengan Full Circle (F – C)
R = 589,4 m < 700 m ® Tidak memenuhi
2. Dengan Spiral Circle Spiral (S – C – S)
R = 589,4 m
V = 60 km/jam
Ls min. = 40
e = 3,35 %
Ls = 0,022 x clip_image159[1] – 2,727 x clip_image171
Ls = 0,022 x clip_image173 – 2,727 x clip_image175
= 6,45 m < Ls min
Jadi digunakan Ls = 40 m
θs = clip_image167[1] = clip_image177 = 1,9440
Δc = Δ – 2θs
= 63,830 – 2(1,9440) = 59,9420 > 00 (OK)
Lc = 0,017453 x ∆c x R
= 0,017453 x 59,942º x 589,4
= 616,61 m > 20 (OK) ………Jadi yang digunakan tikungan S-C-S.
Menghitung Lengkung Spiral Circle Spiral (S – C – S)
clip_image001[9] Tikungan I
θs = clip_image179
θc = Δ – 2θs
= 84,314 – 2(0,314)
= 83,686 0
Lc = clip_image181
= clip_image183
= 860,439 m > 20 m (OK)
L = Lc + 2Ls
= 860,439 + 2 x 6,4 = 873,238 m
p = clip_image185
= clip_image187
= 0,432 m
Dari tabel 4.1 diperoleh p* = 0,0157432 (interpolasi)
p = p* x Ls = 0,0157432 x 27,75 = 0,43 m
k = Ls – clip_image189
= 27,75 – clip_image191
= 13,8597 clip_image193 13,86 m
Es = (R+p) Sec ½ Δ – R
= (74,5 + 0,432) Sec (½.64,34) – 74,5
= 14,023 m
Ts = (R+p) Tan ½ Δ +k
= (74,5 + 0,432) Tan (½.64,34) + 13,0597
= 60,992 clip_image193[1] 61 m
clip_image001[10] Tikungan II
θs = clip_image196
θc = Δ – 2θs
= 60,7 – 2(7,48)
= 45,740
Lc = clip_image181[1]
= clip_image199
= 76,44 m > 20 m (OK)
L = Lc + 2Ls
= 76,44 + 2 x 25 = 126,44 m
p = clip_image201
= clip_image203
= 0,8746 m
k = Ls – clip_image205
= 25 – clip_image207
= 12,4861clip_image193[2] 12,50 m
Es = (R+p) Sec ½ Δ – R
= (95,8 + 0,8746) Sec (½.60,7) – 95,8
= 16,23 m
Ts = (R+p) Tan ½ Δ +k
= (95,8 + 0,8746) Tan (½.60,7) + 12,4861
= 69,091 clip_image193[3] 69,1 m
Data lengkung untuk lengkung Spiral – Circle – Spiral sebagai berikut :

Tikung an
R (m)
A (0)
Ls (m)
e
(%)
Os (0)
Oc (0)
Lc (m)
L
(m)
P
(0)
k
(m)
Es (m)
Ts (m)
 
 
I
74,5
64,34
27,75
5,985
10,67
43,00
55,88
111,38
0,432
13,86
14,032
61,0
 
II
95,8
60,70
25,00
4,790
7,48
45,74
76,44
126,44
0,875
12,49
16,227
69,1
 
3.3 Pelebaran Tikungan
Rumus :
clip_image209

     
  clip_image213
 
  clip_image214
 
  clip_image215
Dimana :
B = Lebar perkerasan pada tikungan (m)
b’ = Lebar lintasan pada tikungan
n = Jumlah jalur lau lintas
Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan
Z = Lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi
C = Kebebasan samping (0,8 m)
P = Jarak ban muka dan ban belakang (jarak antara Gandar) = 6,1 m
A = Jarak ujung mobil dan ban depan = 1,2 m
Vr = Kecepatan rencana
R = Jari-jari tikungan
clip_image216 Rumus :
Dimana :
B = Lebar Total
L = Lebar badan jalan (kelas II C = 2 x 3,00 m)
a. Tikungan I
R1 = 361 m
Vr = 60 km/jam
b’ = 2,4 + clip_image218
clip_image220
= 2,348 m
Td = clip_image221
clip_image223
= 0,022 m
clip_image225
clip_image227
= 0,332 m
B = n (b’ + c) + (n – 1) Td + Zclip_image229
clip_image231
= 6,296 + 0,022 + 0,332
= 6,65 m > 6,00 m
W = B – L
= 6,65 – 6
= 0,65 m (Penambahan lebar tikungan)
b. Tikungan II
R2 = 589,4 m
Vr = 60 km/jam
b’ = 2,4 + clip_image218[1]
clip_image233
= 2,432 m
Td = clip_image235
clip_image237
= 0,014 m
clip_image239
clip_image241
= 0,259 m
B = n (b’ + c) + (n – 1) Td + Z
clip_image243
= 6,737 m > 6 m
W = B – L
= 6,737 – 6
= 0,737 m (Penambahan lebar tikungan)
3.4 Perhitungan jarak pandang
3.4.1 Jarak pandang henti (dh)

 
  clip_image244
Dimana :
Dp = Jarak yang ditempuh kendaraan dari waktu melihat benda dimana harus berhenti sampai menginjak rem
dp = 0,287 . V. tr
V = Kecepatan (km/jam)
Tr = Waktu (3,7 – 4,3) detik
Untuk Jalan mendaki (+) dan menurun (-)
clip_image246
Dimana :
Tm = Koefisien rencana (km/jam)
= 0,00065 . Vr + 0,19
= 0,00065 60 + 0,19
= 0,153 m
L = Kelandaian 6 %
Untuk jalan datar
Vr = 60 km/jam
dp = 0,287 . V. tr
= 0,287 . 60 .2,5
= 41,7 m
dr = clip_image248
= 66,541 m
dh = dp + dr
= 41,7 + 66,541
= 108,241 m
ü Untuk Jalan mendaki
dp = 41,7 m
dr = clip_image248[1]
= 66,541 m
dh = dp + dr
= 41,7 + 66,541
= 108,241 m
ü Untuk jalan menurun
dp = 41,7 m
dr = clip_image251
= 152,400 m
dh = dp + dr
= 41,7 + 152,400
= 194,10 m
3.4.2 Jarak pandang menyiap (dm)
Rumus :
clip_image252
Dimana :
d1 = Jarak yang ditempuh selama kendaraan menyiap
0,278 t1 (Vm – m – ½ a . t1)
d2 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan menyiap selama di jalur kanan
= 0,278 . Vm . t2
d3 = Jarak bebas antara kendaraan yang menyiap dengan kendaraan yang datang.
= 30 – 100 m
d4 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang berlawanan arah
= 2/3 d2
V = Kecepatan rencana (km/jam)
tr = Waktu (3,7 – 4,3) detik
t2 = Waktu (9,3 – 10,4) detik
m = Perbedaan kecepatan (15 km/jam)
a = Percepatan rata-rata (2,26 – 2,36)
Vm = Kecepatan menyiap
Diketahui
Vr = 60 km/jam
m = 15 km/jam
a = 2,268 detik
t1 = 3,68 detik
t2 = 9,44 detik
Vm = Vr + m
= 60 + 15
= 75 km/jam
d1 = 0,278 t1 (Vm – m – ½ a . t1)
= 0,287. 3,68 (75 – 15 – ½ . 2,268 . 3,68)
= 1,148 (60 – 4,173)
= 64,089 m
d2 = 0,278 . Vm . t2
= 0,287 . 75 . 9,422
= 202,809 m
d3 = 30 m
d4 = 3/4 . d2
= 2/3 . 202,809
= 135,206 m
dm = d1 + d2 + d3 + d4
= 64,089 + 202,809 + 30 + 135,206
= 432,104 m
3.5 Perhitungan alinement vertikal
3.5.1 Perhitungan alinement vertikal patok 10
Diketahui perbedaan landai aljabar :
A = G1 – G2
G1 = 2,08 %
G2 = 6,25 %
A = 2,08 % – 6,25 %
= – 4,17 %
V = 30 km/jam
Bentuk alinement adalah Cembung
a. Berdasarkan jarak pandang henti (dh)
Elevasi pada patok 10 (PVI) = 874,6 m
Stasiun pada patok 10 (PVI) = 0+250
Berdasarkan tabel lengkung vertikal cekung diperoleh panjang lengkung vertikal LV = 20 m
clip_image254
clip_image256
Y = clip_image258
§ clip_image259 Untuk X = ¼ LV Y = clip_image261
§ clip_image262Untuk X = ½ LV Y = clip_image264
§ clip_image265Untuk X = ¾ LV Y = clip_image267
§ clip_image268Untuk X = LV Y = clip_image270

X
¼ LV
½ LV
¾ LV
LV
Y
-0,026
-0,104
-0,234
-0,417
Stasiun PLV = Stasiun PVI – ½ LV
= (0+250) – ½ 20
= 0+240
Elevasi PLV = Elevasi PVI – (G1 % . ½ LV)
= 874,6 – (2,08 . ½ 20)
= 853,8 m
STA ¼ LV = Stasiun PVI – ¼ LV
= (0+250) – ¼ 20
= 0+245
Elevasi ¼ LV = Elevasi PVI + (G1 % . ¼ LV) – Y
= 874,6 + (2,08 . ¼ 20) – ( – 0,026)
= 864,226 m
STA PVI = 0+250
Elevasi PVI = Elevasi PVI + EV
= 874,6 + (-0,104)
= 874,704 m
STA ¾ LV = Stasiun PVI – ¼ LV
= (0+250) – ¼ 20
= 0+260
Elevasi ¾ LV = Elevasi PVI + (G2 % . ¼ LV) –Y
= 874,6 + (6,25 . ¼ 20) – ( – 0,026)
= 905,876
STA PTV = Stasiun PVI + ½ LV
= (0+250) + ½ 20
= 0+260
Elevasi PTV = Elevasi PVI + (G2 % . ¼ LV)
= 874,6 + (6,25 . ¼ 20)
= 937,1

 
  clip_image271
clip_image272

 
  clip_image273
clip_image274
clip_image275
853,8 864,226 874,704 905,876 937,100clip_image229[1]

 
  clip_image276
0+240 0+245 0+250 0+255 0+260
b. Berdasarkan jarak pandang menyiap (dm)
Elevasi pada patok 10 (PVI) = 874,6 m
Stasiun pada patok 10 (PVI) = 0+250
Berdasarkan tabel lengkung vertikal cekung diperoleh panjang lengkung vertikal LV = 15 m
clip_image254[1]
clip_image278
Y = clip_image258[1]
§ clip_image259[1] Untuk X = ¼ LV Y = clip_image281
§ clip_image262[1]Untuk X = ½ LV Y = clip_image283
§ clip_image265[1]Untuk X = ¾ LV Y = clip_image285
§ clip_image268[1]Untuk X = LV Y = clip_image287

X
¼ LV
½ LV
¾ LV
LV
Y
-0,020
-0,078
-0,176
-0,313
Stasiun PLV = Stasiun PVI – ½ LV
= (0+250) – ½ 15
= 0+242,5
Elevasi PLV = Elevasi PVI – (G1 % . ½ LV)
= 874,6 – (2,08 . ½ 15)
= 859 m
STA ¼ LV = Stasiun PVI – ¼ LV
= (0+250) – ¼ 20
= 0+246,25
Elevasi ¼ LV = Elevasi PVI + (G1 % . ¼ LV) – Y
= 874,6 + (2,08 . ¼ 15) – ( – 0,020)
= 866,82 m
STA PVI = 0+250
Elevasi PVI = Elevasi PVI + EV
= 874,6 + (-0,078)
= 874,678 m
STA ¾ LV = Stasiun PVI – ¼ LV
= (0+250) – ¼ 15
= 0+253,75
Elevasi ¾ LV = Elevasi PVI + (G2 % . ¼ LV) –Y
= 874,6 + (6,25 . ¼ 15) – ( – 0,176)
= 890,213 m
STA PTV = Stasiun PVI + ½ LV
= (0+250) + ½ 15
= 0+257,5
Elevasi PTV = Elevasi PVI + (G2 % . ¼ LV)
= 874,6 + (6,25 . ¼ 15)
= 921,475 m

     
  clip_image288
 
  clip_image289
 
    clip_image290
clip_image291clip_image292clip_image293clip_image294
859 866,8 874,678 890,213 921,475clip_image229[2]

 
  clip_image276[1]
0+242,5 0+246,25 0+250 0+253,75 0+257,5
3.5.2 Perhitungan alinement vertikal patok 16
Diketahui perbedaan landai aljabar :
A = G1 – G2
G1 = 6,67 %
G2 = 0 %
A = 2,08 % – 0 %
= 6,67 %
V = 30 km/jam
Bentuk alinement adalah Cekung
a. Berdasarkan jarak pandang henti (dh)
Elevasi pada patok 10 (PVI) = 865 m
Stasiun pada patok 10 (PVI) = 0+400
Berdasarkan tabel lengkung vertikal cekung diperoleh panjang lengkung vertikal LV = 25 m
clip_image254[2]
clip_image296
Y = clip_image258[2]
§ clip_image259[2] Untuk X = ¼ LV Y = clip_image298
§ clip_image262[2]Untuk X = ½ LV Y = clip_image300
§ clip_image265[2]Untuk X = ¾ LV Y = clip_image302
§ clip_image268[2]Untuk X = LV Y = clip_image304

X
¼ LV
½ LV
¾ LV
LV
Y
0,052
0,208
0,469
0,834
Stasiun PLV = Stasiun PVI – ½ LV
= (0+400) – ½ . 25
= 0+387,5
Elevasi PLV = Elevasi PVI – (G1 % . ½ LV)
= 865 – (6,67 . ½ 25)
= 948,,375 m
STA ¼ LV = Stasiun PVI – ¼ LV
= (0+400) – ¼ 25
= 0+393,75
Elevasi ¼ LV = Elevasi PVI + (G1 % . ¼ LV) + Y
= 865 + (6,67 . ¼ 25) + 0,052
= 906,739 m
STA PVI = 0+400
Elevasi PVI = Elevasi PVI + EV
= 865 + 0,206
= 865,206 m
STA ¾ LV = Stasiun PVI – ¼ LV
= (0+400) – ¼ 25
= 0+406,255
Elevasi ¾ LV = Elevasi PVI + (G2 % . ¼ LV) + Y
= 865 + (0 . ¼ 25) + 0,052
= 865,052
STA PTV = Stasiun PVI + ½ LV
= (0+400) + ½ 25
= 0+412,5
Elevasi PTV = Elevasi PVI + (G2 % . ¼ LV)
= 865 + (0 . ¼ 25)
= 865 m

 
  clip_image305
clip_image306

 
  clip_image307
clip_image308clip_image309
948,375 906,739 865,206 865,025 865clip_image229[3]

 
  clip_image276[2]
0+387,5 0+393,75 0+400 0+406,25 0+412,5