D A F T A R I S I
LEMBAR JUDUL ……………………………………………………………………………………. i
LEMBAR ASISTENSI …………………………………………………………………………….. ii
LEMBAR TUGAS …………………………………………………………………………………… iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………… v
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………… 1
1.2 Maksud dan Tujuan ………………………………………………………………….. 1
1.3 Ruang Lingkup ………………………………………………………………………… 2
BAB II DASAR TEORI …………………………………………………………………………. 4
2.1 Uraian Umum ………………………………………………………………………….. 4
2.1.1 Pengertian Jalan ………………………………………………………….. 4
2.1.2 Klasifikasi Jalan ………………………………………………………….. 4
2.1.3 Volume Lalu Lintas …………………………………………………….. 7
2.1.4 Fakto Yang Mempengaruhi Perencanaan Geometrk ………… 8
2.2 Perencanaan Geometrik Jalan Raya ……………………………………………. 10
2.2.1 Perencanaan Alinement Horizontal ……………………………….. 10
2.2.2 Jenis – Jenis Lengkung Peralihan ………………………………….. 12
2.2.3 Penampang Melintang Jalan …………………………………………. 20
2.2.4 Kemiringan Pada Tikungan ………………………………………….. 20
2.2.5 Pelebaran Perkerasa …………………………………………………….. 24
2.3 Alinement Vertikal …………………………………………………………………… 26
2.3.1 Landai Maksimum dan Panjang Landai Maksimum ………… 27
2.3.2 Lengkung Vertikal ……………………………………………………… 28
2.3.3 Jarak Pandang ……………………………………………………………. 30
2.4 Galian dan Timbunan ……………………………………………………………….. 33
2.5 Perencanaan Tebal Perkerasan ……………………………………………………. 34
2.5.1 Uraian Umum …………………………………………………………….. 34
2.5.2 Umur Rencana ……………………………………………………………. 34
2.5.3 Lalu Lintas ………………………………………………………………… 34
2.5.4 Konstruksi Jalan …………………………………………………………. 35
2.5.6 Penentuan Besaran Rencana ………………………………………… 44
BAB III PERHITUNGAN DAN PERENCANAAN …………………………………. 50
3.1 Standar Perencanaan Geometrik Jalan ………………………………………… 50
3.2 Perhitungan dan Penetuan Type Tikungan …………………………………… 54
3.2.1 Penetuan Type Tikungan ……………………………………………… 54
3.2.2 Perhitungan Tikungan …………………………………………………. 55
3.3 Pelebaran Tikungan ………………………………………………………………….. 60
3.4 Perhitungan Jarak Pandang ……………………………………………………….. 62
3.4.1 Jarak Pandang Henti (dh) …………………………………………….. 62
3.4.2 Jarak Pandang Menyiap ………………………………………………. 64
3.5 Perhitungan Alinement Vertikal …………………………………………………. 66
3.5.1 Perhitungan Alinement Vertikal Patok 10 ……………………… 66
3.5.2 Perhitungan Alinement Vertikal Patok 16 ……………………… 71
B A B I
P E N D A H U L U A N
1.1 Latar Belakang
Kostruksi jalan raya sebagai sarana transportasi adalah merupakan unsur yang sangat penting dalam usaha meningkatkan kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraannya. Dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai mahluk sosial manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain, maka dengan adanya prasarana jalan ini, maka hubungan antara suatu daerah dengan daerah lain dalam suatu negara akan terjalin dengan baik. Sarana yang dimaksud disini adalah sarana penghubung yang melalui darat, laut dan udarah. Dari ketiga sarana tersebut, akan ditinjau prasarana yang melalui darat.
Dalam perencanaan geometrik termasuk juga perencanaan tebal perkerasan jalan, karena dimensi dari perkerasan merupakan bagian dari perencanaan geometrik sebagai suatu perencanaan jalan seutuhnya.
Bertambahnya jumlah dan kualitas kendaraan dan berkembangnya pengetahuan tentang kelakukan pengendara serta meningkatnya jumlah kecelakaan, menuntut perencanaan geometrik supaya memberikan pelayanan maksimum dengan keadaan bahaya minimum dan biaya yang wajar.
1.2 Maksud dan Tujuan
Suatu perencanaan geometrik yang lengkap tidak saja memperhatikan keamanan dan ekonomisnya biaya, tetapi juga nilai struturalnya. Kita harus lebih teliti dalam memilih lokasi perencanaan geometrik sehingga suatu jalan menjadi nyaman.
Sebagai perencana, kita dituntut untuk menguasai teknik perencanaan geometrik dan tata cara pembuatan konstruksi jalan raya serta memahami permasalahan dan pemecahannya.
Yang dimaksud perkerasan lentur dalam perencanaan ini adalah perkerasan yang umumnya menggunakan bahan campuran beraspal sebagai lapisan permukaan serta bahan berbutir sebagai lapisan dibawahnya. Interpretasi, evaluasi dan kesimpulan-kesimpulan yang akan dikembangkan dari hasil penetapan ini, harus juga memperhitungkan penerapannya secara ekonomis sesuai dengan kondisi setempat, tingkat keperluan, kemampuan pelaksanaan dan syarat teknis lainnya, sehingga kontruksi jalan yang direncanakan itu adalah yang optimal.
Pada umumnya teknik perencanaan geometrik jalan raya dibagi atas tiga bagian penting, yaitu :
- alinyemen horizontal / trase jalan
- alinyemen vertikal / penampang memanjang jalan
- penampang melintang jalan
pembangunan yang baik antara alinyemen horizontal dan vertical memberikan keamanan dan kenyamanan para pemakai jalan.
1.3 Ruang lingkup
Perencanaan geometrik jalan raya
Dalam perencanaan geometrik yang kami laksanakan dalam tugas ini, pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
- perencanaan trase dan penentuan medan
- bentuk dan panjang kurva
- penggambaran kurva
- penentuan kemiringan melintang tiap tikungan dan penggambaran elevasi, superelevasi badan jalan.
- menghitung jarak pandang
- menghitung alinyemen vertikal
- perhitungan volume galian dan timbunan
B A B I I
D A S A R T E O R I
2.1 Uraian Umum
2.1.1 Pengertian Jalan
Jalan raya adalah jalur- jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran- ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk menyelurkan lalu lintas orang, hewan, dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat.
Jalan raya sebagai sarana pembangunan dalam membantu pembangunan wilayah adalah penting. Oleh karena itu pemerintah mengupayakan pembangunan jalan raya dengan lancar, efisien dan ekonomis.
Untuk perencanaan jalan raya yang baik, bentuk geometriknya harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya, sebab tujuan akhir dari perencanaan geometrik ini adalah menghasilkan infrastruktur yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan biaya juga memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan.
2.1.2 Klasifikasi Jalan
Pada umumnya jalan raya dapat dikelompokkan dalam klasifikasi menurut fungsinya, dimana pereturan ini mencakup tiga golongan penting, yaitu :
a. Jalan Arteri ( Utama )
Jalan raya utama adalah jalan yang melayani angkutan utama, dengan ciri- ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata- rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. Dalam komposisi lalu lintasnya tidak terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor. Jalan raya dalam kelas ini merupakan jalan- jalan raya berjalur banyak dengan konstruksi perkerasan dari jenis yang terbaik.
b. Jalan Kolektor ( Sekunder )
Jalan kolektor adalah jalan raya yang melayani angkutan pengumpulan/ pembagian dengan ciri- ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata- rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
Berdasarkan komposisi dan sifat lalu lintasnya dibagi dalam tiga kelas jalan,
yaitu :
1. Kelas II A
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan konstruksi permukaan jalan dari lapisan aspal beton atau yang setara.
2. Kelas II B
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan dari penetrasi berganda atau yang setara dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.
3. Kelas II C
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur denan konstruksi permukaan jalan dari penetrasi tunggal, dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan bermotor lambat dan kendaraan tak bermotor.
c. Jalan Lokal ( Penghubung )
Jalan penghubung adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan cirri- cirri perjalanan yang dekat, kecepatan rata- rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
Adapun tabel klasifikasi jalan raya adalah srbagai berikut :
KLASIFIKASI JALAN
| JALAN RAYA UTAMA
| JALAN RAYA SEKUNDER
| JALAN PENGHUBUNG
| |
|
I (A1)
| II A (A2)
| II B (B1)
| II C (B2)
| III
| |
KLASSIFIKASI MEDAN
| D B G
| D B G
| D B G
| D B G
| D B G
| |
Lalu lintas harian rata- rata (smp)
| > 20. 000
| 6.000 – 20.000
| 1500 – 8000
| < 20.000
| -
| |
Kecepatan Rencana (km/jam)
| 120 100 80
| 100 80 60
| 80 60 40
| 60 40 30
| 60 40 30
| |
Lebar Daerah Penguasaan min.(m)
| 60 60 60
| 40 40 40
| 30 30 30
| 30 30 30
| 20 20 20
| |
Lebar Perkerasan (m)
| Minimum 2 (2×3,75)
| 2×3.50 atau 2(2×3.50)
| 2x 3.50
| 2 x 3.00
| 3.50 – 6.00
| |
Lebar Median minimum (m)
| 2
| 1.5
| -
| -
| -
| |
Lebar Bahu (m)
| 3.50 3.00 3.00
| 3.00 2.50 2.50
| 3.00 2.50 2.50
| 2.50 1.50 1.00
| 3.50 – 6.00
| |
Lereng Melintang Perkerasan
| 2%
| 2%
| 2%
| 3%
| 4%
| |
Lereng Melintang Bahu
| 4%
| 4%
| 6%
| 6%
| 6%
| |
Jenis Lapisan Permukaan Jalan
| Aspal beton ( hot mix )
| Aspal Beton
| Penetrasi Berganda/ setaraf
| Paling tinggi penetrasi tunggal
| Paling tinggi pelebaran jalan
| |
|
Miring tikungan maksimum
| 10%
| 10%
| 10%
| 10%
| 10%
| |
Jari- jari lengkung minimum (m)
| 560 350 210
| 350 210 115
| 210 115 50
| 210 115 50
| 115 50 30
| |
Landai Maksimum
| 3 % 5 % 6 %
| 4 % 6 % 7 %
| 5 % 7 % 8 %
| 6 % 8 % 10 %
| 6 % 8 % 10 %
| |
Tabel 2. 1 Tabel Klasifikasi Jalan Raya
Sumber : Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, Dept. PU
2.1.3 Volume Lalu Lintas
Volume lalu lintas menyatakan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu. Untuk mendapatkan volume lalu lintas tersebut, dikenal dua jenis Lalu Lintas Harian Rata-rata, yaitu :
a. Lalu Lintas Harian Rata- rata (LHR)
Jumlah kendaraan yang diperoleh selama pengamatan dengan lamanya pengamatan.
b.. Lalu Lintas Harian Rata- rata Tahunan (LHRT)
Jumlah lalu lintas kendaraan yang melewati satu jalur selama 24 jam dan diperoleh
dari data satu tahun penuh.
Pada umumnya lalu lintas pada jalan raya terdiri dari berbagai jenis kendaraan, baik kendaraan cepat, kendaraan lambat, kendaraan berat, kendaraan ringan, maupun kendaraan tak bermotor. Dalam hubungannya dengan kapasitas jalan, maka jumlah kendaraan bermotor yang melewati satu titik dalam satu satuan waktu mengakibatkan adanya pengaruh / perubahan terhadap arus lalu lintas. Pengaruh ini diperhitungkan dengan membandingkannya terhadap [engaruh dari suatu mobil penumpang dalam hal ini dipakai sebagai satuan dan disebut
Satuan Mobil Penumpang ( Smp ).
Untuk menilai setiap kendaraan ke dalam satuan mobil penumpang ( Smp ), bagi jalan di daerah datar digunakan koefisien di bawah ini :
§ Sepeda = 0, 5
§ Mobil Penumpang = 1
§ Truk Ringan ( berat kotor < 5 ton ) = 2
§ Truk sedang > 5 ton = 2, 5
§ Bus = 3
§ Truk Berat > 10 ton = 3
§ Kendaraan tak bermotor = 7
Di daerah perbukitan dan pegunungan, koefisien untuk kendaraan bermotor di atas dapat dinaikkan, sedangkan untuk kendaraan tak bermotor tak perlu dihitung. Jalan dibagi dalam kelas yang penetapannya kecuali didasarkan pada fungsinya juga dipertimbangkan pada besarnya volume serta sifat lalu lintas yang diharapkan akan menggunakan jalan yang bersangkutan.
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Perencanaan Geometrik Jalan
Untuk perencanaan jalan raya yang baik, bentuk geometriknya harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberkan pelayanan yang optimal kepada lalu lintas, sebab tujuan akhir dari perencanaan geometrik ini adalah tersedianya jalan yang memerikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan.
Dalam merencanakan suatu konstruksi jalan raya banyak factor yang menjadi dasar atau pertimbangan sebelum direncanakannya suatu jalan. Factor itu antara lain :
1. Kendaraan Rencana
Dilihat dari bentuk, ukuran dan daya dari kendaraan – kendaran yang menggunakan jalan, kendaraan- kendaraan tersebut dapat dikelompokkan.
Ukuran kendaraan- kendaraan rencana adalah ukuran terbesar yang mewakili kelompoknya. Ukuran lebar kendaraan akan mempengaruhi lebar jalur yang dbituhkan. Sifat membelok kendaraan akan mempengaruhi perencanaan tikungan. Daya kendaraan akan mempengaruhi tingkat kelandaian yang dipilih, dan tingi tempat dududk ( jok ) akan mempengaruhi jarak pandang pengemudi.
Kendaraan yang akan digunakan sebagai dasar perencanaan geometric disesuaikan dengan fungsi jalan dan jenis kendaraan yang dominan menggunakan jalan tersebut. Pertimbangan biaya juga ikut menentukan kendaraan yang dipilih.
2. Kecepatan Rencana Lalu Lintas
Kecepatan rencana merupakan factor utama dalam perencanaan suatu geometric jalan. Kecepatan yaitu besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendaraan dibagi waktu tempuh.
Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan perencanaan setiap bagian jalan raya seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak pandang dll. Kecepatan maksimum dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman dan keamanan itu sepenuhnya tergantung dari bentuk jalan, kecepatan rencana haruslah sesua dengan tipe jalan dan keadaan medan.
Suatu jalan yang ada di daerah datar tentu saja memiliki design speed yang lebih tinggi dibandingkan pada daerah pegunungan atau daerah perbukitan.
Adapun faktor - faktor yang mempengaruhi kecepatan rencana tergantung pada :
a. Topografi ( Medan )
Untuk perencanaan geometric jalan raya, keadaan medan memberikan batasan kecepatan terhadap kecepatan rencana sesuai dengan medan perencanaan ( datar, bbukit, dan gunung ).
b. Sifat dan tingkat penggunaan daerah
Kecepatan rencana untuk jalan- jalan arteri lebih tinggi dibandingkan jalan kolektor.
3. Kelandaian
Adanya tanjakan yang cukup curam dapat mengurangi laju kecepatan dan bila tenaga tariknya tidak cukup, maka berat kendaraan ( muatan ) harus dikurangi, yang berarti mengurangi kapasitas angkut dan mendatangkan medan yang landai.
2. 2 Perencanaan Geometrik Jalan Raya
2.2.1 Perencanaan Alinyemen Horizontal ( Trase Jalan )
Dalam perencanaan jalan raya harus direncanakan sedemikian rupa sehingga jalan raya itu dapat memberikan pelayanan optimum kepada pemakai jalan sesuai dengan fungsinya.
Untuk mencapai hal tersebut harus memperhatikan perencanaan alinyemen horizontal ( trase jalan ) yaitu garis proyeksi sumbu jalan tegak lurus pada bidang peta yang disebut dengan gambar situasi jalan.
Trase jalan terdiri dari gabungan bagian lurus yang disebut tangen dan bagian lengkung yang disebut tikungan. Untuk mendapatkan sambungan yang mulus antara bagian lurus dan bagian tikungan maka pada bagian- bagian tersebut diperlukan suatu bagian pelengkung peralihan yang disebut “spiral”.
Bagian yang sangat kritis pada alinyemen horizontal adalah bagian tikungan, dimana terdapat gaya yang akan melemparkan kendaraan ke luar dari tikungan yang disebut gaya sentrifugal.
Beradasarkan hal tersebut di atas, maka dalam perencanaan alinyemen pada tikungan ini agar dapat memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pengendara, maka perlu dipertimbangkan hal- hal berikut :
a. Ketentuan- ketentuan dasar
Pada perencanaan geometrik jalan, ketentuan- ketentuan dasar ini tercantum pada daftar standar perencanaan geometric jalan merupakan syarat batas, sehingga penggunaannya harus dibatasi sedemikian agar dapat menghasilkan jalan yang cukup memuaskan.
b. Klasifikadi medan dan besarnya lereng (kemiringan)
Klasifikasi dari medan dan besar kemiringan adalah sebagai berikut :
Klasifikasi Medan
| kemiringan (%)
|
Datar ( D )
| 0 - 9.9
|
Bukit ( B )
| 10 - 24.9
|
Gunung ( G )
| > 25, 0
|
Tabel 2. 2 Tabel Klasifikasi Medan dan Besar Kemiringan
Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan Raya, Dept. PU
2.2.2 Jenis- jenis Lengkungan Peralihan
Dalam suatu perencanaan alinyeman horizontal kita mengenal ada 3 macam bentuk lengkung horizontal antara lain :
1. Full Circle
Bentuk tikungan ini adalah jenis tikungan yang terbaik dimana mempunyai jari- jari besar dengan sudut yang kecil. Pada pemakaian bentuk lingkaran penuh, batas besaran R minimum di Indonesia ditetapkan oleh Bina Marga sebagai berikut :
Kecepatan rencana ( km/ jam )
| Jari- jari lengkungan minimum ( meter )
| |
|
120
| 2000
| |
100
| 1500
| |
80
| 1100
| |
60
| 700
| |
40
| 300
| |
30
| 100
| |
Tabel 2. 3 Tabel Jari- jari Lengkung Minimum dan kecepatan rencana
Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan Raya, NOVA
Gambar Lengkung Peralihan :
Gambar 2. 1 Full Circle
Keterangan :
PI = Nomor Station ( Point of Interaction )
R = Jari- jari tikungan ( meter )
Δ = Sudut tangen (
o )
TC = Tangent Circle
CT = Circle Tangen
T = Jarak antara TC dan PI
L = Panjang bagian tikungan
E = Jarak PI ke lengkung peralihan
Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan Raya, PEDC Bandung
Perhitungan Data Kurva
Syarat Pemakaian :
a. Tergantung dari harga V rencana
b. Δ C = 0
c. Lc = 20
2. Spiral – Circle - spiral ( S – C – S )
Lengkung spiral pada tikungan jenis S - C – S ini adalah peralihan dari bagian tangen ke bagian tikungan dengan panjangnya diperhitungkan perubahan gaya sentrifugal.
Adapun jari- jari yang diambil adalah sesuai dengan kecepatan rencana yang ada pada daftar I perencanaan geometric jalan raya.
Gambar 2. 2 Spiral Circle Spiral
Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan Raya, PEDC. Bandung
Keterangan :
Ts = Titik perubahan dari tangen ke spiral
SL = Titik Perubahan dari spiral ke Lingkaran
L = Panjang Bagian spiral ke Tengah
TC = Tangen Circle
ST = Perubahan dari spiral ke tangen
Ls = Panjang total spiral dari Ts sampai SL
Δ = Sudut lengkungan
Tt = Panjang tangen total yaitu jarak antara RP dan ST
Et = Jarak tangen total yaitu jarak antara RP dan titik tangen busur lingkaran
Perhitungan Data Kurva
Dari Tabel J. Bernett diperoleh nilai e dan Ls
Syarat Pemakaian :
a. Ls min ≤ Ls
b. Apabila R untuk circle tidak memenuhi untuk kecepatan tertentu
c. Δ C > 0
d. Lc > 20
e. L = 2 Ls + Lc < 2 Tt
Catatan :
3 Untuk mendapatkan nilai P* dan K* dapat dilihat pada tabel J. Bernett berdasarkan nilai
θs yang didapatkan.
3 Nilai c adalah nilai untuk perubahan kecepatan pada tikungan = 0, 4 m/ detik.
3. Spiral – Spiral ( S – S )
Penggunaan lengkung spiral – spiral dipakai apabila hasil perhitungan pada bagian lengkung S – C – S tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan. Bentuk tikungan ini dipergunakan pada tikungan yang tajam.
Gambar 2. 3 Spiral – spiral
Perhitungan Data Kurva
Syarat Pemakaian :
Kontrol perhitungan 2 Ls < 2 Tt
2. 2. 3 Penampang Melintang
Penampang melintang jalan adalah potongan suatu jalan tegak lurus pada as jalan yang menunjukkan bentuk serta susunan bagian- bagian jalan yang bersangkutan dalam arah melintang. Maksud dari penggambaran profil melintang disamping untuk memperlihatkan bagian- bagianjalan juga untuk membantu dalam menghitung banyaknya galian dan timbunan sesuai dengan rencana jalan dengan menghitung luas penampang melintang jalan.
2. 2. 4 Kemiringan pada Tikungan ( Super Elevasi )
Pada suatu tikungan jalan, kendaraan yan lewat akan terdorong keluar secara radial oleh gaya sentrifugal yang diimbangi oleh :
· Komponen yang berkendaraan yang diakibatkan oleh adanya super elevasi dari jalan
· Gesekan samping antara berat kendaraan dengan perkerasan jalan.
Kemiringan superelevasi maksimim terdapat pada bagian busur tikungan sehingga perlu diadakan perubahan dari kemiringan maksimum berangsur- angsur ke kemiringan normal.
Dalam melakukan perubahan pada kemiringan melintang jalan, kita mengenal tiga metode pelaksanaan, yaitu :
a. Mengambil sumbu as jalan sebagai sumbu putar
Gambar 2. 4 Sumbu as jalan sebagai sumbu putar
b. Mengambil tepi dalam jalan sebagai sumbu putar.
Gambar 2. 5 Tepi jalan sebagai sumbu putar
c. Mengambil tepi luar jalan sebagai sumbu putar
Gambar 2. 6 Tepi luar jalan sebagai sumbu putar
Sedangkan bentuk – bentuk dari diagram superelevasi adalah sebagai berikut :
1. Diagram superelevasi pada F – C
- e max kiri
Bagian lurus Bagian Lengkung Bagian lurus
+en -en 0% -en e maks.
Potongan I Potongan II Potongan II
Gambar 2. 7 Diagram superelevasi pada F – C
2. Diagram superelevasi pada S – C – S
I II III – e max kanan
- e max kiri
Potongan I Potongan II Potongan III
Gambar 2. 8 Diagram superelevasi pada S – C – S
3. Diagram superelevasi pada S – S
TS SC=CS TS
Kiri
Sb.Jln
-2% Kanan -2%
LS L
Gambar 2. 9 Diagram Superelevasi pada S – S
2. 2. 5 Pelebaran Perkerasan pada Tikungan ( Widening )
Untuk membuat tikungan pelayanan suatu jalan tetap sama, baik pada bagian lurus maupun tikungan, prlu diadakan pelebaran pada perkerasan tikungan. Pelebaran perkerasan pada tikungan tergantung pada :
a. Jari- jari tikungan ( R )
b. Sudut tikungan ( Δ )
c. Kecepatan Tikungan ( Vr )
Rumus Umum :
Dimana :
B = lebar perkerasan pada tikungan ( m )
n = jumlah jalur lalu lintas
b’ = lebar lintasan truk pada tikungan
Td = lebar melintang akibat tonjolan depan
Z = lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi
C = kebebasan samping ( 0, 8 ) m
Rumus :
Dimana :
R = jari- jari tikungan
P = jarak ban muka dan ban belakang ( 6, 1 )
A = jarak ujung mobil dan ban depan ( 1, 2 )
Vr = keecepatan rencana
Rumus :
Dimana :
B = lebar jalan
L = lebar badan jalan ( Kelas II B = 7, 0 )
Syarat :
Bila B ≤ 7 tidak perlu pelebaran
Bila B > 7 perlu pelebaran
2. 3 Alinement Vertikal ( Profil Memanjang )
Alinement vertikal adalah garis potong yang dibentuk oleh bidang vertical melalui sumbu jalan. Profil ini menggambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap muka yanah asli, sehingga memberikan gambaran terhadap kemampuan kendaraan naik atau turun dan bermuatan penuh.
Pada alinyemen vertical bagian yang kritis adalah pada bagian lereng, dimana kemampuan kendaraan dalam keadaan pendakian dipengaruhi oleh panjang kritis, landai dan besarya kelandaian. Maka berbeda dengan alinyemen horizontal, disini tidak hanya pada bagian lengkung, tetapi penting lurus yang pada umumnya merupakan suatu kelandaian.
2. 3. 1 Landai Maksimum dan Panjang Maksimum Landai
Landai jalan adalah suatu besaran untuk menunjukkan besarnya kenaikan atau penurunan vertical dalam satu satuan jarak horizontal ( mendatar ) dan biasanya dinyatakan dalam persen ( % ).
Maksud dari panjang kritis landai adalah panjang yang masih dapat diterima kendaraan tanpa mengakibatkan penurunan kecepatan truck yang cukup berarti. Dimana untuk panjang kelandaian cukup panjang dan mengakibatkan adanya pengurangan kecepatan maksimum sebesar 30 – 50 % kecepatan rencana selama satu menit perjalanan.
Kemampuan kendaraan pada kelandaian umumnya ditentukan oleh kekuatan mesin dan bagian mekanis dari kendaraan tersebut. Bila pertimbangan biaya menjadi alasan untuk melampaui panjang kritis yang diizinkan, maka dapat diterima dengan syarat ditambahkan jalur khusus untuk kendaraan berat.
Syarat panjang kritis landai maksimum tersebut adalah sebagai berikut :
Landai maksimum (%)
| 3
| 4
| 5
| 6
| 7
| 8
| 10
| 12
|
Panjang Kritis
| 400
| 330
| 250
| 200
| 170
| 150
| 135
| 120
|
Tabel 2. 4 Syarat Panjang Kritis Landai Maksimum
Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan Raya, Dept. PU
2. 3. 2 Lengkung Vertikal
Pada setiap penggantian landai harus dibuat lengkung vertical yang memenuhi keamanan, kenyamanan, dan drainage yang baik. Lengkung vertical yang digunakan adalah lengkung parabola sederhana. Lengkung vertical adalah suatu perencanaan alinyemen vertical untuk membuat suatu jalan tidak terpatah- patah.
a. Lengkung vertical cembung
½ LV ½ LV
½ LV
½ LV
Gambar 2. 10 Lengkung Vertikal Cembung
b. Lengkung vertical cekung
½ LV ½ LV
½ LV ½ LV
Gambar 2. 11 Lengkung Vertikal Cekung
Pada lengkung vertical cembung yang mempunyai tanda ( + ) pada persamaannya dan lengkung vertical cekung yang mempunyai tanda ( – ) pada persamaannya. Hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Pada alinyemen vertical tidak selalu dibuat lengkungan dengan jarak pandangan menyiap, tergantung pada medan, klasifikasi jalan, dan biaya.
b. Dalam menentukan harga A = G1 – G2 terdapat 2 cara dalam penggunannya, yaitu :
· Bila % ikut serta dihitung maka rumus yang dipergunakan adalah seperti di atas.
· Bila % sudah dimasukkan dalam rumus, maka rumus menjadi :
2. 3. 3 Jarak Pandang
Jarak pandang adalaha jarak dimana pengemudi dapat melihat benda yang menghalanginya, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dalam batas mana pengemudi dapat melihat dan menguasai kendaraan pada satu jalur lalu lintas. Jarak pandang bebas ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
a. Jarak Pandang Henti ( dh )
Jarak pandang henti adalah jarak pandang minimum yang diperlukan pengemudi untuk menghentikan kendaraan yang sedang berjalan setelah melihat adanya rintangan pada jalur yang dilaluinya. Jarak ini merupakan dua jarak yang ditempuh sewaktu melihat benda hingga menginjak rem dan jarak untuk berhenti setelah menginjak rem.
Rumus :
Dimana :
dh = jarak pandang henti
dp = jarak yang ditempuh kendaraan dari waktu melihat benda dimana harus berhenti sampai menginjak rem
dr = jarak rem
Vr = kecepatan rencana ( km/ jam )
L = kelandaian
Fm = koefisien gesek maksimum
= – 0, 000625 . Vr + 0, 19
( + ) = pendakian
( – ) = penurunan
b. Jarak Pandang Menyiap ( dm )
Jarak pandang menyiap adalah jarak yang dibutuhkan untuk menyusul kendaraan lain yang digunakan hanya pada jalan dua jalur. Jarak pandang menyiap dihitung berdasarkan panjang yang diperlukan untuk melakukan penyiapan secara normal dan aman.
Jarak pandang menyiap ( dm ) untuk dua jalur dihitung dari penjumlahan empat jarak.
Rumus :
Dimana :
d
l = jarak yang ditempuh selama kendaraan menyiap
= 0,278. tr ( V – m + ½ . a. tr )
d
2 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan menyiap selama dijalur kanan
= 0, 278 . Vr. t
2
d
3 = jarak bebas antara kendaraan yang menyiap dengan kendaraan yang datang
d
4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang dating
=
2/
3 . d
2
V = kecepatan rencana
tr = waktu ( 3, 7 – 4, 3 ) detik
t
2 = waktu ( 9, 3 – 10, 4 ) detik
m = perbedaan kecepatan ( 15 km/ jam )
a = percepatan rata- rata ( 2, 26 – 2, 36 )
2. 4 Galian dan Timbunan
Pada perencanaan jalan raya, diusahakan agar volume galian dan timbunan sama. Dengan mengkombinasikan antara alinyemen vertical dan horizontal, memungkinkan kita untuk menghitung banyaknya volume galian dan timbunan pada suatu pekerjaan konstruksi jalan raya.
Langkah- langkah dalam menghitung volume galian dan timbunan adalah sebagai berikut :
1. Penentuan station ( jarak patok ), sehingga diperoleh panjang orizontal jalan dari alinyemen horizontal.
2. Menggambarkan profil memanjang yang memperlihatkan perbedaan muka tinggi tanah asli dengan tinggi tanah asli dengan tinggi muka perkerasan yang akan direncanakan.
3. Menggambarkan profil melintang pada setiap titik station sehingga dapat dihitung luas penampang galian dan timbunan.
4. Menghitung volume galian dan timbunan dengan menggunakan cara koordinat. Masukkan koordinat x dan y yang selanjutnya dijumlahkan masing – masing titik. Dari hasil perkalian tersebut untuk mendapatkan luasnya dikalikan ½ hasil totalnya lalu dikalikan dengan jarak patok untuk mendapatkan volume pekerjaan.
2. 5 Perencanaan Tebal Perkerasan
2. 5. 1 Uraian Umum
Jenis konstruksi perkerasan yang akan dibahas adalah konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat, lapisan- lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
2. 5. 2 Umur Rencana
Umur rencana perekerasan jalan ditentukan atas dasar pertimbangan- pertimbangan klasifikasi fungsional jalan, pola lalu lintas serta nilai ekonomi jalan yang bersangkutan, yang tidak terlepas, yang tidak terlepas dari pola pengembangan wilayah.
2. 5. 3 Lalu Lintas
Lalu lintas harus dianalisa berdasarkan atas :
· Hasil perhitungan volume lalu lintas dan komposisi beban sumbu berdasarkan data terakhir ( ≤ 2 tahun terakhir ) dari pos- pos resmi setempat
· Kemungkinan perkembangan lalu lintas sesuai dengan kondisi dan potensi- potansi social ekonomi daerah yang bersangkutan, serta daerah- daerah lainnya yang berpengaruh terhadap jalan yang direncanakan, agar pendugaan atas tingkat perkembangan lalu lintas ( I ) serta sifat- sifat khususnya dapat dipertanggungjawabkan.
2. 5. 4 Konstruksi Jalan
Konstruksi jalan terdiri dari tanah dan perkerasan jalan. Penempatan besaran rencana tanah dasar dan material- material yang akan menjadi bagian dari konstruksi perkerasan, harus didasarkan atas penilaian hasil survey dan penyelidikan laboratorium oleh seorang ahli.
Bagian perkerasan jalan umumnya meliputi :
3 Lapis pondasi bawah ( sub base )
3 Lapis Pondasi ( base )
3 Lapis permukaan ( surface course )
Gambar 2. 12 Bagian- bagian perkerasan jalan
Sumber : Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan, Dept. PU
2. 5. 4. 1 Tanah Dasar
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat- sifat dan daya dukung tanah dasar. Dari bermacam- macam cara pemeriksaan untuk menentukan kekuatan tanah dasar, yang umum sigunakan adalah cara CBR. Dalam hal ini digunakan nomogram penetapan tebal perkerasan, maka harga CBR tersebut dapat dikorelasikan terhadap daya dukung tanah ( DDT ).
Penentuan daya dukung tanah dasar berdasarkan evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium tidak dapat mencakup secara detail sifat- sifat dan daya dukung tanah dasar sepanjang suatu bagian jalan. Koreksi- koreksi perlu dilakukan baik dalam tahap perencanaan detail maupun pelaksanaan sesuai dengan kondisi setempat.
2. 5. 4. 2 Lapis Pondasi Bawah (LPB)
Fungsi lapis pondasi bawah antara lain :
1. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban roda
2. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan- lapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya
3. Untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi
4. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar
Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap roda- roda alat- alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca.
2. 5. 4. 3 Lapis Pondasi Atas ( LPA )
Fungsi lapis pondasi atas antara lain :
1. Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda
2. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan
Bahan – bahan untuk lapis pondasi umumnya harus cukup kuat dan awet sehingga dapat menahan beban- beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan sebaik- baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik.
Bahan alam yang dapat digunakan sebagai bahan pondasi antara lain batu pecah, kerikil pecah, stabilisasi tanah dengan semen atau kapur.
2. 5. 4. 4 Lapis Permukaan (Surface Course)
Fungsi lapis pondasi permukaan antara lain :
1. Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda
2. Sebagai lapisan rapat air untuk melidungi badan jalan dari kerusakan akibat cuaca
3. Sebagai lapisan aus
Bahan untuk lapisan permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapis pondasi dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan beban roda lalu lintas.
2. 5. 5 Penentuan Besaran Rencana
2. 5. 5.1 Persentase Kendaraan pada Jalur Rencana
Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan raya, yang menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas jalur ditentukan dari lebar perkerasan menurut tabel di bawah ini :
Lebar Perkerasan
| Jumlah Jalur ( m )
|
L < 5, 50 m
5, 50 m ≤ L < 8, 25 m
8, 25 m ≤ L < 11, 25 m
11, 25 m ≤ L < 15, 00 m
15, 00 m ≤ L < 18, 75 m
18, 75 m ≤ L < 22, 00 m
| 1 jalur
2 jalur
3 jalur
4 jalur
5 jalur
6 jalur
|
Tabel 2. 5 Hubungan lebar perkerasan dan jumlah jalur
Sumber : Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan, Dept. PU
Koefisien distribusi (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut tabel di bawah ini :
Jumlah Jalur
| Kendaraan Ringan *
| Kandaraan Berat **
|
1 arah
| 2 arah
| 1 arah
| 2 arah
|
1 jalur
2 jalur
3 jalur
4 jalur
5 jalur
6 jalur
| 1, 00
0, 60
0, 40
| 1, 00
0, 50
0, 40
0, 30
0, 25
0, 20
| 1, 00
0, 70
0, 50
| 1, 00
0, 50
0, 475
0, 45
0, 425
0, 40
|
Keterangan :
* berat total < 5 ton misalnya mobil penumpang dan pick up
** berat total ≥ 5 ton misalnya bus, truck, traktor, semi trailer, trailer
Tabel 2. 6 Tabel Koefisien distribusi
Sumber : Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan, Dept. PU
2. 5. 5. 2 Angka Ekivalen
Angka ekivalen ( E ) masing- masing golongan beban sumbu ( setiap kendaraan ) ditentukan menurut rumus di bawah ini :
2. 5. 5. 3 Lalu Lintas
1. Lalu lintas Harian Rata- rata ( LHR ) setiap jenis kendaraan ditentukan pada awal umur rencana yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa median atau masing- masing arah pada jalan dengan median
2. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) dihitung dengan rumus :
3. Lintas Ekivalen Akhir (LEA) dihitung dengan rumus :
4. Lintas Ekivalen Tengah ( LET ) dihitung dengan rumus :
5. Lintas Ekivalen Rencana ( LER ) dihitung dengan rumus :
2. 5. 5. 4 Daya Dukung Tanah Dasar
Daya dukung tanah dasar ( DDT ) ditetapkan berdasarkan grafik kolerasi. Sementara ini dianjurkan untuk mendasarkan daya dukung tanah hanya kepada pengekuran nilai CBR.
Untuk mendapatkan CBR rata- rata yang tidak terlalu merugikan, maka disarankan agar dapat merencanakan perlerasan suatu ruas jalan perlu dibuat segmen- segmen dimana beda atau variasi CBR dari suatu segmen tidak besar.
2. 5. 5. 5 Faktor Regional
Seperti diketahui bahwa rumus- rumus dasar daripada pedoman perencanaan perkerasan ini diambil dari hasil percobaan AASHTO dengan kondisi percobaab tertentu. Karena kanyataan di lapangan yang dihadapi mungkin tidak sama kondisinya dengan kondisi AASHTO maka perlu diperhitungkan apa yang disebut factor regional sebagai factor koreksi sehubungan dengan perbedaab kondisi tersebut. Kondisi yang dimaksud antara lain keadaan lapangan dan iklim yang dapat memepengaruhi keadaan pembebanan, daya dukung tanah dasar dan perkerasan.
Dengan demikian dalam penentuan tebal perkerasan ini factor regional hanya dipengaruhi oleh bentuk alinyemen (kelandaian dan tikungan), persentase kendaraan berat dan yang berhenti, serta iklim dan curah hujan.
2. 5. 5. 6 Indeks Permukaan
Ciri khas dari cara perencanaan perkerasan adalah dipergunakannya indeks permukaan (IP) sebagai ukuran dasar dalam menentukan nilai perkerasan ditinjau dari kepentingan lalu lintas, indeks permukaan ini menyatakan nilai dari kerataan/ kehalusan serta kekokohan permukaan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat.
Adapun beberapa nilai IP serta artinya adalah sebagai berikut :
IP = 1, 0 Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan.
IP = 1, 5 Menyatakan tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin.
IP = 2, 0 Menyatakan tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih mantap.
IP = 2, 5 Menyatakan permukaan jalan masih cukup baik dan stabil.
Dalam menentukan Indeks Permukaan (IP) pada akhir umur rencana, perlu dipertimbangkan factor- factor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana (LER), menurut daftar di bawah ini :
LER ( Lintas Ekivalen Rencana )
| Klasifikasi Jalan
|
Lokal
| Kolektor
| Arteri
| Tol
|
< 10
10 – 100
100 – 1000
> 1000
| 1,0 – 1,5
1,5
1,5 – 2,0
-
| 1,5
1,5 – 2,0
2, 0
1,0 – 2,5
| 1,5 – 2,0
2, 0
2,0 – 2,5
2,5
| -
-
2, 5
|
Tabel 2. 7 LER dan klasifikasi fungsional jalan
Sumber : Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan, Dept. PU
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (Ipo), perlu dipoerhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana, menurut daftar dibawah ini :
Indeks Permukaan pada awal umur rencana (Ipo)
Jenis Lapisa Permukaan
| Ipo
| Roughness (mm/km)
|
Laston
Lasbutag
HRA
Burda
Burtu
Lapen
Latasburn
Buras
Latasir
Jalan Tanah
Jalan Kerikil
| > 4
3,9 – 3,5
3,9 – 3,5
3,4- -3,0
3,9 – 3,5
3,4 – 3,0
3,9 – 3,5
3,4 – 3,0
3,4 – 3,0
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
<2,4
<2,4
| < 1000
> 1000
< 2000
> 2000
< 2000
> 2000
< 2000
> 2000
< 3000
> 3000
|
Tabel 2.8
Sumber : Pedoman Penentuan Tabel Perkerasan
2. 5. 6 Penentuan Besaran Rencana
2. 5. 6.1 Persentase Kendaraan pada Jalur Rencana
Indeks Tebal Perkerasan ( ITP ) dinyatakan dengan rumus :
ITP = a
1D
1 + a
2D
2 + a
3D
3
a
1a
2a
3 = Koefisien kekuatan relatif bahan-bahan perkerasan
D
1D
2D
3 = tebal masing-masing perkerasan (cm)
Angka-angka 1,2,3 masing- masing berarti lapis permukaan, lapis pondasi atas, lapis pondasi bawah.
2. 5. 6.2 Koefisien Kekuatan Relatif
Koefisien kekuatan relatif masing-masing bahan dan kegunaannya sebagai lapis permukaan, pondasi atas dan pondasi bawah ditentukan secara korelasi sesuatu dengan marshall test, kuat tekan atau CBR.
Daftar dibawah ini menunjukkan nilai koefisien relatif dari tiap-tiap lapisan .
Koefisien
| | | | |
Kekuatan
| Kekuatan Bahan
| Jenis Bahan
|
Relatif
| | | | |
a1
| a2
| a3
| MS
| Kt
| CBR
| |
| | | (Kg)
| Kg/cm2
| (%)
| |
0,40
| | | 744
| | | |
0,35
| | | 590
| | | |
0,32
| | | 454
| | | LASTON
|
0,30
| | | 340
| | | |
0,35
| | | 744
| | | |
0,31
| | | 590
| | | |
0,28
| | | 454
| | | Asbuton
|
0,26
| | | 340
| | | |
0,30
| | | 340
| | | Hot Rolled Asphalt
|
0,26
| | | 340
| | | Aspal macadan
|
0,25
| | | | | | LAPEN (mekanis)
|
0,20
| | | | | | LAPEN (manual)
|
| 0,28
| | | | | |
| 0,26
| | | | | LASTON ATAS
|
| 0,24
| | | | | |
| 0,23
| | | | | LAPEN (mekanis)
|
| 0,19
| | | | | LAPEN (manual)
|
| 0,15
| | 22
| | | Stabilitas tanah dengan kapur
|
| 0,13
| | 18
| | | |
| 0,15
| | 22
| | | Stabilitas tanah dengan semen
|
| 0,13
| | 18
| | | |
| 0,14
| | | 100
| | Pondasi Macadam (Basah)
|
| 0,12
| | | 60
| | Pondasi Macadam (Kering)
|
| 0,14
| | | 100
| | Batu Pecah (Kelas A )
|
| 0,13
| | | 80
| | Batu Pecah (Kelas B )
|
| 0,12
| | | 60
| | Batu Pecah (Kelas C )
|
| | 0,13
| | 70
| | Sirtu / Pitrun (Kelas A)
|
| | 0,12
| | 50
| | Sirtu / Pitrun (Kelas B)
|
| | 0,11
| | 30
| | Sirtu / Pitrun (Kelas C)
|
| | 0,10
| | 20
| | Tanah/ Lempung Kepasiran
|
Catatan : Kuat Tekan stabilisasi tanah dengan semen diperiksa pada hari ke-7
Kuat Tekan stabilisasi tanah dengan kapur diperiksa pada hari ke- 21
Tabel 2.9
Sumber : Pedoman Penentuan tebal Perkerasan, Dept PU
2. 5. 6.3 Batas-batas minimum tebal lapisan
1. Lapis Permukaan
ITP
| Tebal
Minimum
(cm)
| Bahan
|
<,3,00
3,00 – 6,70
6, 1 – 7,49
7,50 – 9,99
>10,00
| 5
7,5
7,5
10
| Lapis pelindung/BURAS,BURTU,BURDA
LAPEN/aspal macadam,HRA,asbuton,LASTON
LAPEN/aspal macadam,HRA,asbuton,LASTON
Lapis pelindung/BURAS,BURTU,BURDA
LASTON
|
Tabel 2.10
Tabel Lapisan Permukaan
2. Lapis Pondasi
ITP
| Tebal
| Bahan
|
| Minimum
| |
| (cm)
| |
<3,00
| 15
| Batu Pecah, Stabilitas tanah dengan semen,
|
| | Stabilitas tanah dengan kapur
|
3,00 – 7,49
| 20
| Batu Pecah,Stabilitas tanah dengan semen,
|
| | Stabilitas tanah dengan kapur
|
| 10
| LASTON ATAS
|
7,50 – 9,99
| 20*)
| Batu Pecah, Stabilitas tanah dengan semen,
|
| | Stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam
|
| 15
| LASTON ATAS
|
10,0 – 12,24
| 20
| Batu Pecah, Stabilitas tanah dengan semen,
|
| | Stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam
|
| | LAPEN, LASTON ATAS
|
>12,25
| 25
| Batu Pecah, Stabilitas tanah dengan semen,
|
| | Stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam
|
| | LAPEN, LASTON ATAS
|
*) Batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi bawah digunakan materrial berbutir kasar.
§
Penentuan Kelas Jalan raya
P
§ Penentuan Faktor yang
E
Mempengaruhi Perenc, Geometrik
M
§ Kendaraan Rencana
A
§ Kecepatan Rencana
N
§
Kelandaian
T
A
U A
N
d
a
n
E
V
A
§ Perencanaan Alinement Horizontal
L
Q Perenc. Kontur dan Trase Jalan
U
Q Penentuan Type Tikungan
A
Q Kemiringan Tikung Superelevasi
S
Q Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan
I
§ Perencanaan Alinement Vertikal
§ Penggambaran Profil Memanjang
§
Penentuan Lengkung Vertikal
§ Perhitungan Jarak Pandang
§
Penggambaran Profil Melintang
§ Perhitingan Galian Timbunan
GAMBAR
BAB III
PERHITUNGAN DAN PERENCANAAN
3.1 Standar perencanaan geometrik jalan
Direncanakan suatu konstruksi jalan raya dengan kelas jalan III dengan tinggi kota A = 880 m dan tinggi kota B = 865 m yang dilihat dan dihitung berdasarkan garis kontur yang tersediah dengan memakai skala 1:1000. Dalam menentukan tinggi dari setiap petak pada trase jalan didasarkan pada letak patok pada gambar kontur yang kita buat. Sedangkan untuk membuat kemiringan didasarkan pada beda tinggi antara 2 patok. Pada pembuatan trase jalan nin didapatkan data sebagai berikut :
2+2,5+0,5+1,3+2,2+2,9+1+1,4+3,9+0,8+1+2,4+2,2+1+0,6+0,9+0,4+1,8+1 +0,9 +1,2+1+1+0,9+1,3+0,5+0,8
=
18
= 1,385
Jarak sebenarnya = 1,385 x 10.000
= 138,5 m
Klasifikasi medan =
=
Berdasarkan klasifikasi medan maka daerah ini ternasuk daerah Datar dengan kemiringan 7,22 % lebih kecil dari 25 %.
Dan berdasarkan standar geometrik jalan kelas II C pada medan datar didapatkan data-data pengukuran sebagai berikut :
Kecepatan rencana = 60 km/jam
Lebar daerah penguasaan = 30 m
Lebar perkerasan = 2 x 3,00 m
Lebar bahu jalan = 2,5 m
Lereng melintang bahu = 6 %
Lebar melintang perkerasan = 3 %
Miring tikungan maks. = 10 %
Jari jari lengkung min. = 210 m
Landai maksimum = 6 %
Menentukan jari – jari tikungan
Tikungan II
(23,4;8,2) x =
R =
R (29,1;6,7) = 4,391 cm
R =
(2,6;2,6) x =
(22,8;0,4) (26,6;2,3) = 589,4 m
Tikungan I
(6,6;7) x =
=
R = 2,343 cm
R =
(3;6,5) (6,4;3,4) =
x
= 3,61 cm
(1,6;5)
(3,4;3,5) = 361 m
Menentukan sudut tikungan
Tikungan I (6,4;3,4)
(3;6,5)
θ
1 θ
2 Δ
1
(1,6;5) (3,4;3,5)
θ
1 = Arc Tg
= 82,405
0
θ
2 = Arc Tg
= 1,909
0
Δ
1 = θ
1+ θ
2 = 82,405
0 + 1,909
0 = 84,314
0
Tikungan II
(29,1;6,7)
(21,6;2,6)
θ
1 θ
2
(22,8;0,4)
(26,6;2,3)
θ
1 = Arc Tg
= 3,434
0
θ
2 = Arc Tg
= 60,396
0
Δ
1 = θ
1+ θ
2 = 3,434
0 + 60,396
0 = 63,830
0
3.2 Perhitungan dan penetuan type tikungan
3.2.1 Penentuan type tikungan
Tidak memenuhi
Rc < R min.
Memenuhi Tidak memenuhi
Δc < 0
o
Lc < 20 m
2Ls Lc < Memenuhi
Bagan Proses Penentuan Jenis Tikungan
3.2.2 Perhitungan tikungan
Tikungan I
- Dengan Full Circle (F – C)
R = 361 m < 700 m ® Tidak memenuhi
- Dengan Spiral Circle Spiral (S – C – S)
R = 361 m
V = 60 km/jam
Ls min. = 40 ® Tabel 1.1 (interpolasi)
e = 5,17 %
Ls = 0,022 x
– 2,727 x
Ls = 0,022 x
– 2,727 x
= 11,761 m < Ls min
Jadi digunakan Ls terbesar = 40 m
θ
s =
=
= 3,174
0
Δc = Δ – 2θ
s
= 64,34
0 – 2(3,174
0) = 77,966
0 > 0
0 (OK)
Lc = 0,017453 x ∆c x R
= 0,017453 x 77,966º x 361
= 491,227 m > 20 (OK) …… Jadi yang digunakan tikungan S-C-S.
Tikungan II
- Dengan Full Circle (F – C)
R = 589,4 m < 700 m ® Tidak memenuhi
2. Dengan Spiral Circle Spiral (S – C – S)
R = 589,4 m
V = 60 km/jam
Ls min. = 40
e = 3,35 %
Ls = 0,022 x
– 2,727 x
Ls = 0,022 x
– 2,727 x
= 6,45 m < Ls min
Jadi digunakan Ls = 40 m
θ
s =
=
= 1,944
0
Δc = Δ – 2θ
s
= 63,83
0 – 2(1,944
0) = 59,942
0 > 0
0 (OK)
Lc = 0,017453 x ∆c x R
= 0,017453 x 59,942º x 589,4
= 616,61 m > 20 (OK) ………Jadi yang digunakan tikungan S-C-S.
Menghitung Lengkung Spiral Circle Spiral (S – C – S)
Tikungan I
θs =
θc = Δ – 2θs
= 84,314 – 2(0,314)
= 83,686
0
Lc =
=
= 860,439 m > 20 m (OK)
L = Lc + 2Ls
= 860,439 + 2 x 6,4 = 873,238 m
p =
=
= 0,432 m
Dari tabel 4.1 diperoleh p* = 0,0157432 (interpolasi)
p = p* x Ls = 0,0157432 x 27,75 = 0,43 m
k = Ls –
= 27,75 –
= 13,8597
13,86 m
Es = (R+p) Sec ½ Δ – R
= (74,5 + 0,432) Sec (½.64,34) – 74,5
= 14,023 m
Ts = (R+p) Tan ½ Δ +k
= (74,5 + 0,432) Tan (½.64,34) + 13,0597
= 60,992
61 m
Tikungan II
θs =
θc = Δ – 2θs
= 60,7 – 2(7,48)
= 45,74
0
Lc =
=
= 76,44 m > 20 m (OK)
L = Lc + 2Ls
= 76,44 + 2 x 25 = 126,44 m
p =
=
= 0,8746 m
k = Ls –
= 25 –
= 12,4861
12,50 m
Es = (R+p) Sec ½ Δ – R
= (95,8 + 0,8746) Sec (½.60,7) – 95,8
= 16,23 m
Ts = (R+p) Tan ½ Δ +k
= (95,8 + 0,8746) Tan (½.60,7) + 12,4861
= 69,091
69,1 m
Data lengkung untuk lengkung Spiral – Circle – Spiral sebagai berikut :
Tikung an
| R (m)
| A (0)
| Ls (m)
| e
(%)
| Os (0)
| Oc (0)
| Lc (m)
| L
(m)
| P
(0)
| k
(m)
| Es (m)
| Ts (m)
| |
|
I
| 74,5
| 64,34
| 27,75
| 5,985
| 10,67
| 43,00
| 55,88
| 111,38
| 0,432
| 13,86
| 14,032
| 61,0
| |
II
| 95,8
| 60,70
| 25,00
| 4,790
| 7,48
| 45,74
| 76,44
| 126,44
| 0,875
| 12,49
| 16,227
| 69,1
| |
3.3 Pelebaran Tikungan
Rumus :
Dimana :
B = Lebar perkerasan pada tikungan (m)
b’ = Lebar lintasan pada tikungan
n = Jumlah jalur lau lintas
Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan
Z = Lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi
C = Kebebasan samping (0,8 m)
P = Jarak ban muka dan ban belakang (jarak antara Gandar) = 6,1 m
A = Jarak ujung mobil dan ban depan = 1,2 m
Vr = Kecepatan rencana
R = Jari-jari tikungan
Rumus :
Dimana :
B = Lebar Total
L = Lebar badan jalan (kelas II C = 2 x 3,00 m)
a. Tikungan I
R
1 = 361 m
Vr = 60 km/jam
b’ = 2,4 +
= 2,348 m
Td =
= 0,022 m
= 0,332 m
B = n (b’ + c) + (n – 1) Td + Z
= 6,296 + 0,022 + 0,332
= 6,65 m > 6,00 m
W = B – L
= 6,65 – 6
= 0,65 m (Penambahan lebar tikungan)
b. Tikungan II
R
2 = 589,4 m
Vr = 60 km/jam
b’ = 2,4 +
= 2,432 m
Td =
= 0,014 m
= 0,259 m
B = n (b’ + c) + (n – 1) Td + Z
= 6,737 m > 6 m
W = B – L
= 6,737 – 6
= 0,737 m (Penambahan lebar tikungan)
3.4 Perhitungan jarak pandang
3.4.1 Jarak pandang henti (dh)
Dimana :
Dp = Jarak yang ditempuh kendaraan dari waktu melihat benda dimana harus berhenti sampai menginjak rem
dp = 0,287 . V. tr
V = Kecepatan (km/jam)
Tr = Waktu (3,7 – 4,3) detik
Untuk Jalan mendaki (+) dan menurun (-)
Dimana :
Tm = Koefisien rencana (km/jam)
= 0,00065 . Vr + 0,19
= 0,00065 60 + 0,19
= 0,153 m
L = Kelandaian 6 %
Untuk jalan datar
Vr = 60 km/jam
dp = 0,287 . V. tr
= 0,287 . 60 .2,5
= 41,7 m
dr =
= 66,541 m
dh = dp + dr
= 41,7 + 66,541
= 108,241 m
ü
Untuk Jalan mendaki
dp = 41,7 m
dr =
= 66,541 m
dh = dp + dr
= 41,7 + 66,541
= 108,241 m
ü
Untuk jalan menurun
dp = 41,7 m
dr =
= 152,400 m
dh = dp + dr
= 41,7 + 152,400
= 194,10 m
3.4.2 Jarak pandang menyiap (dm)
Rumus :
Dimana :
d
1 = Jarak yang ditempuh selama kendaraan menyiap
0,278 t
1 (Vm – m – ½ a . t
1)
d
2 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan menyiap selama di jalur kanan
= 0,278 . Vm . t
2
d
3 = Jarak bebas antara kendaraan yang menyiap dengan kendaraan yang datang.
= 30 – 100 m
d
4 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang berlawanan arah
= 2/3 d
2
V = Kecepatan rencana (km/jam)
tr = Waktu (3,7 – 4,3) detik
t
2 = Waktu (9,3 – 10,4) detik
m = Perbedaan kecepatan (15 km/jam)
a = Percepatan rata-rata (2,26 – 2,36)
Vm = Kecepatan menyiap
Diketahui
Vr = 60 km/jam
m = 15 km/jam
a = 2,268 detik
t
1 = 3,68 detik
t
2 = 9,44 detik
Vm = Vr + m
= 60 + 15
= 75 km/jam
d
1 = 0,278 t
1 (Vm – m – ½ a . t
1)
= 0,287. 3,68 (75 – 15 – ½ . 2,268 . 3,68)
= 1,148 (60 – 4,173)
= 64,089 m
d
2 = 0,278 . Vm . t
2
= 0,287 . 75 . 9,422
= 202,809 m
d
3 = 30 m
d
4 = 3/4 . d
2
= 2/3 . 202,809
= 135,206 m
dm = d
1 + d
2 + d
3 + d
4
= 64,089 + 202,809 + 30 + 135,206
= 432,104 m
3.5 Perhitungan alinement vertikal
3.5.1 Perhitungan alinement vertikal patok 10
Diketahui perbedaan landai aljabar :
A = G
1 – G
2
G
1 = 2,08 %
G
2 = 6,25 %
A = 2,08 % – 6,25 %
= – 4,17 %
V = 30 km/jam
Bentuk alinement adalah Cembung
a. Berdasarkan jarak pandang henti (dh)
Elevasi pada patok 10 (PVI) = 874,6 m
Stasiun pada patok 10 (PVI) = 0+250
Berdasarkan tabel lengkung vertikal cekung diperoleh panjang lengkung vertikal LV = 20 m
Y =
§
Untuk X = ¼ LV Y =
§
Untuk X = ½ LV Y =
§
Untuk X = ¾ LV Y =
§
Untuk X = LV Y =
X
| ¼ LV
| ½ LV
| ¾ LV
| LV
|
Y
| -0,026
| -0,104
| -0,234
| -0,417
|
Stasiun PLV = Stasiun PVI – ½ LV
= (0+250) – ½ 20
= 0+240
Elevasi PLV = Elevasi PVI – (G
1 % . ½ LV)
= 874,6 – (2,08 . ½ 20)
= 853,8 m
STA ¼ LV = Stasiun PVI – ¼ LV
= (0+250) – ¼ 20
= 0+245
Elevasi ¼ LV = Elevasi PVI + (G
1 % . ¼ LV) – Y
= 874,6 + (2,08 . ¼ 20) – ( – 0,026)
= 864,226 m
STA PVI = 0+250
Elevasi PVI = Elevasi PVI + EV
= 874,6 + (-0,104)
= 874,704 m
STA ¾ LV = Stasiun PVI – ¼ LV
= (0+250) – ¼ 20
= 0+260
Elevasi ¾ LV = Elevasi PVI + (G
2 % . ¼ LV) –Y
= 874,6 + (6,25 . ¼ 20) – ( – 0,026)
= 905,876
STA PTV = Stasiun PVI + ½ LV
= (0+250) + ½ 20
= 0+260
Elevasi PTV = Elevasi PVI + (G
2 % . ¼ LV)
= 874,6 + (6,25 . ¼ 20)
= 937,1
853,8 864,226 874,704 905,876 937,100
0+240 0+245 0+250 0+255 0+260
b. Berdasarkan jarak pandang menyiap (dm)
Elevasi pada patok 10 (PVI) = 874,6 m
Stasiun pada patok 10 (PVI) = 0+250
Berdasarkan tabel lengkung vertikal cekung diperoleh panjang lengkung vertikal LV = 15 m
Y =
§
Untuk X = ¼ LV Y =
§
Untuk X = ½ LV Y =
§
Untuk X = ¾ LV Y =
§
Untuk X = LV Y =
X
| ¼ LV
| ½ LV
| ¾ LV
| LV
|
Y
| -0,020
| -0,078
| -0,176
| -0,313
|
Stasiun PLV = Stasiun PVI – ½ LV
= (0+250) – ½ 15
= 0+242,5
Elevasi PLV = Elevasi PVI – (G
1 % . ½ LV)
= 874,6 – (2,08 . ½ 15)
= 859 m
STA ¼ LV = Stasiun PVI – ¼ LV
= (0+250) – ¼ 20
= 0+246,25
Elevasi ¼ LV = Elevasi PVI + (G
1 % . ¼ LV) – Y
= 874,6 + (2,08 . ¼ 15) – ( – 0,020)
= 866,82 m
STA PVI = 0+250
Elevasi PVI = Elevasi PVI + EV
= 874,6 + (-0,078)
= 874,678 m
STA ¾ LV = Stasiun PVI – ¼ LV
= (0+250) – ¼ 15
= 0+253,75
Elevasi ¾ LV = Elevasi PVI + (G
2 % . ¼ LV) –Y
= 874,6 + (6,25 . ¼ 15) – ( – 0,176)
= 890,213 m
STA PTV = Stasiun PVI + ½ LV
= (0+250) + ½ 15
= 0+257,5
Elevasi PTV = Elevasi PVI + (G
2 % . ¼ LV)
= 874,6 + (6,25 . ¼ 15)
= 921,475 m
859 866,8 874,678 890,213 921,475
0+242,5 0+246,25 0+250 0+253,75 0+257,5
3.5.2 Perhitungan alinement vertikal patok 16
Diketahui perbedaan landai aljabar :
A = G
1 – G
2
G
1 = 6,67 %
G
2 = 0 %
A = 2,08 % – 0 %
= 6,67 %
V = 30 km/jam
Bentuk alinement adalah Cekung
a. Berdasarkan jarak pandang henti (dh)
Elevasi pada patok 10 (PVI) = 865 m
Stasiun pada patok 10 (PVI) = 0+400
Berdasarkan tabel lengkung vertikal cekung diperoleh panjang lengkung vertikal LV = 25 m
Y =
§
Untuk X = ¼ LV Y =
§
Untuk X = ½ LV Y =
§
Untuk X = ¾ LV Y =
§
Untuk X = LV Y =
X
| ¼ LV
| ½ LV
| ¾ LV
| LV
|
Y
| 0,052
| 0,208
| 0,469
| 0,834
|
Stasiun PLV = Stasiun PVI – ½ LV
= (0+400) – ½ . 25
= 0+387,5
Elevasi PLV = Elevasi PVI – (G
1 % . ½ LV)
= 865 – (6,67 . ½ 25)
= 948,,375 m
STA ¼ LV = Stasiun PVI – ¼ LV
= (0+400) – ¼ 25
= 0+393,75
Elevasi ¼ LV = Elevasi PVI + (G
1 % . ¼ LV) + Y
= 865 + (6,67 . ¼ 25) + 0,052
= 906,739 m
STA PVI = 0+400
Elevasi PVI = Elevasi PVI + EV
= 865 + 0,206
= 865,206 m
STA ¾ LV = Stasiun PVI – ¼ LV
= (0+400) – ¼ 25
= 0+406,255
Elevasi ¾ LV = Elevasi PVI + (G
2 % . ¼ LV) + Y
= 865 + (0 . ¼ 25) + 0,052
= 865,052
STA PTV = Stasiun PVI + ½ LV
= (0+400) + ½ 25
= 0+412,5
Elevasi PTV = Elevasi PVI + (G
2 % . ¼ LV)
= 865 + (0 . ¼ 25)
= 865 m
948,375 906,739 865,206 865,025 865
0+387,5 0+393,75 0+400 0+406,25 0+412,5