SAWIT INDONESIA DAN ENERGI DUNIA
INDONESIA
adalah penghasil minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia dengan produksi
sekitar 23 juta ton tahun 2011. Dari jumlah tersebut, 16 juta ton diekspor ke
luar negeri yang nilainya mencapai USD16,4 miliar.Sedangkan, sisanya sekitar
tujuh juta ton diserap pasar dalam negeri. Pertumbuhan produksi CPO, jika
dibiarkan secara alamiah seperti sekarang,hingga tahun 2040 diperkirakan
mencapai 45 juta ton per tahun. Jika pengembangan sawit dilakukan dengan budi
daya yang baik serta memperhatikan aspek kelestarian,produksi CPO di tahun 2040
bisa meningkat tiga kali lipat dari produksi sekarang yaitu 67,5 juta ton (data
prediksi Kementerian Pertanian RI). Produksi sebesar itu hanya akan menggunakan
lahan seluas 15 juta hektare.Berarti, tiap
hektare lahan sawit bisa menghasilkan 4,5 juta ton CPO per tahun dengan budi
daya yang baik dan modern. Bahkan, beberapa produsen sawit optimistis bisa
mencapai hasil lebih dari itu.Tapi, prediksi itu sangat mungkin dicapai oleh
Indonesia. Apa arti fakta dan prediksi seperti itu? Sawit adalah keunggulan
komparatif Indonesia dibanding komoditas agrobisnis lain. Bahkan, sejumlah
penelitian di dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa CPO adalah bahan baku
minyak nabati yang paling baik dibandingkan produk pertanian lain seperti
kedelai, bunga matahari, jagung, lobak,gandum,maupunjarak.
Hanya di Sektor (palm oil) Ini Indonesia Juara 1 di Dunia
Minyak
nabati adalah sumber utama untuk makanan dan produksi energi terbarukan baik
itu biofuel maupun biodiesel. Data Oil World tahun 2009 menunjukkan berbagai
keunggulan CPO dibandingkan dengan produk pertanian lain. CPO tergolong yang
paling efisien dalam penggunaan lahan untuk pembudidayaan. Isu ini penting
karena lahan pertanian di seluruh dunia cenderung berkurang karena berbagai
sebab. Karena itu, efisiensi lahan dengan hasil panen maksimal adalah kata
kunci untuk mengukur seberapa besar komoditas itu bisa diandalkan
Seberapa besar efisiensinya? Oil World mencatat, dari 232 juta hektare lahan di seluruh dunia, budi daya sawit hanya menggunakan lima persennya untuk memasok 30 persen pasar minyak nabati dunia. Bandingkan dengan kedelai yang menggunakan 39 persen lahan untuk memasok 29 persen kebutuhan minyak nabati atau bunga matahari yang menggunakan 10 persen lahan untuk memberikan kontribusi delapan persen dalam pasar minyak nabati dunia. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia yang tahun lalu tercatat mencapai tujuh miliar dan pada 2045 diprediksi mencapai sembilan miliar orang, pemenuhan kebutuhan pangan dan energi bagi penduduk bumi menjadi amat krusial.
Seberapa besar efisiensinya? Oil World mencatat, dari 232 juta hektare lahan di seluruh dunia, budi daya sawit hanya menggunakan lima persennya untuk memasok 30 persen pasar minyak nabati dunia. Bandingkan dengan kedelai yang menggunakan 39 persen lahan untuk memasok 29 persen kebutuhan minyak nabati atau bunga matahari yang menggunakan 10 persen lahan untuk memberikan kontribusi delapan persen dalam pasar minyak nabati dunia. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia yang tahun lalu tercatat mencapai tujuh miliar dan pada 2045 diprediksi mencapai sembilan miliar orang, pemenuhan kebutuhan pangan dan energi bagi penduduk bumi menjadi amat krusial.
Apalagi
fakta adanya perusakan lingkungan akibat industrialisasi, illegal logging,
pertambangan, dan salah kelola kehutanan bukanlah hal yang bisa disepelekan. Di
antara sekian banyak keunggulannya, sawit juga memiliki berbagai kelemahan
serius jika tidak ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Isu perusakan
lingkungan dalam pembukaan lahan, kelestarian, keanekaragaman hayati, emisi
karbon, hingga ancaman terhadap satwa orangutan adalah ancaman nyata bagi
industri sawit. Perang opini yang dilancarkan para aktivis lingkungan dan NGO
internasional dalam beberapa tahun terakhir ini terhadap sawit Indonesia
bukanlah sebuah kebetulan.
Jika
disimak detail dari sisi waktu dan momentum,tampak ada pola yang terorganisasi
di sana. Tapi, bukan hal mudah untuk membuktikan bahwa “perang” itu (asymmetric
warfare) benar-benar sedang terjadi. Ciri-ciri perang asimetris biasanya tidak
beraturan, tidak konvensional, mengeksploitasi kelemahan lawan untuk mencapai
kemenangan dan aktornya bisa negara atau non-negara. Yang jelas, segala
kelemahan tentang sawit telah menimbulkan hambatan nontarif terhadap produk
unggulan Indonesia itu di pasar internasional.
Notifikasi
Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) Amerika Serikat tentang CPO yang dianggap
tidak memenuhi syarat sebagai bahan baku biodiesel di negaranya adalah contoh
terjadinya hambatan terhadap sawit.Bagi EPA,CPO harus memenuhi syarat bisa
mengurangi emisi karbon minimal 20 persen agar bisa dijadikan bahan baku
pembuatan biodiesel. Sedangkan, CPO menurut studi EPA baru bisa mengurangi
emisi karbon 17 persen. Beberapa tahun sebelum EPA menerapkan standar ini, Uni
Eropa telah mengeluarkan hal serupa dalam program Renewable Energy Directive.
Dari
sekian bahan baku biofuel, CPO tidak masuk kategori karena dianggap tidak ramah
lingkungan dan tidak memenuhi syarat minimal pengurangan emisi karbon yang
digariskan Uni Eropa. Baik Eropa maupun Amerika Serikat akan mewajibkan
penggunaan energi terbarukan dari minyak nabati pada sektor transportasi publik
secara bertahap. Atas kebijakan ini,kebutuhan energi terbarukan di kedua benua
akan semakin besar. Dan, CPO punya potensi besar memenuhi kebutuhan itu jika
mampu menutupi kelemahankelemahannya. Citra negatif CPO sebagai perusak
lingkungan terbentuk karena tak pernah berhenti dikampanyekan.
Sementara,
counter opini terhadap black campaign itu seperti tidak begitu berdampak atau
hanya terdengar sayup, timbul tenggelam. Respons yang disampaikan hanya kasus
per kasus, tidak sistematis dan berkelanjutan. Ini adalah tugas seluruh
stakeholder, tugas masyarakat Indonesia serta kewajiban pemerintah kita.Apakah
CPO itu bisa menjadi senjata menghadapi musuh dengan keunggulannya atau malah
jadi senjata makan tuan,semua kembali ke diri kita sendiri.
Sepanjang 2010, nilai ekspor CPO dan produk turunan sawit
Indonesia mencapai US$16,4 miliar, naik 50% lebih dari 2009 yang berjumlah
US$10 miliar.Bahkan Departemen Pertanian Amerika Serikat (US Department
of Agriculture/USDA) memperkirakan, ekspor CPO Indonesia tahun ini bisa
mencapai 19,35 juta ton. Angka itu naik dari perkiraan sebelumnya yang sebesar
17,85 juta ton.Adapun produksi CPO Indonesia akan mencapai 25,4 juta ton
pada 2011. Angka itu lebih tinggi dibandingkan proyeksi sebelumnya 23,6 juta ton.Jika
proyeksi itu dipadukan dengan capaian ekspor CPO Indonesia pada 2010, tidak
berlebihan apabila nilai ekspor CPO Indonesia pada 2011 akan menembus US$20,2
miliar atau setara Rp180 triliun.Terlebih lagi, harga CPO sepanjang 4
bulan pertama 2011 dalam tren meningkat. Harga CPO dunia kembali naik setelah
sempat melandai pada Maret 2011.Ketua Duta Forum Pengembangan Perkebunan
Strategis Berkelanjutan, Ahmad Manggabarani bahkan optimistis industri minyak
kelapa sawit akan menjadi pemimpin dalam ekspor komoditas pertanian seiring
dengan posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia."Tapi,
bagaimana produksi sawit mau meningkat dua kali lipat jika termakan isu asing. Jangan
mau dibodohi begitu saja oleh Eropa," kata Manggabarani di Jakarta,
hari ini.Industri yang harusnya menjadi primodona perkeonomian Indonesia
ini, terus digoyang kampanye negative yang didukung oleh lembaga swadaya
masyarakat asing (Uni Eropa dan Amerika Serikat).Misalnya,
belakangan dihembuskan isu pembantaian orangutan di perkebunan kelapa sawit di
Kutai Kartanegara, beberapa waktu lalu.Padahal, menurut Manggabarani,
mantan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian itu, isu orangutan tidak
ada hubungannya dengan sawit.“Isu orangutan isu lawas yang sengaja diangkat
ke permukaan oleh orang-orang yang hendak melemahkan industri perkebunan kelapa
sawit,” tegasnya.Menurutnya, isu lama terkait pembantaian orangutan
jenis Morio (Pongo Pygmeus Morio) tersebut merupakan permainan orang-orang
Eropa yang menggunakan tangan orang Indonesia.“Isu pembantaian itu isu
jadul (jaman dulu). Itu sengaja dihembuskan orang Eropa guna melindungi
industri minyak nabatinya. Cuma caranya yang tidak elegan,”ungkapnya.Manggabarani
menegaskan ditemukannya tengkorak orangutan yang diklaim sebagai korban
pembantaian, kemungkinan besar adalah rekayasa.
“Bisa saja tengkorak itu bukan lantaran pembantaian, tapi karena berkelahi dengan sesama orangutan, atau dia mati karena sudah tua. Jadi jangan buru-buru diklaim hal itu sebagai bukti pembantaian. Itu salah besar,” tuturnya.Sementara, Ketua Persatuan Minyak Sawit Malaysia (MPOA), Dato' Mamat Saleh juga mengakui bahwaiisu orangutan adalah permainan NGO. Isu yang digulirkan NGO macam-macam.
Mulai isu produk sawit berkadar kolesterol tinggi, gas rumah kaca, lahan gambut, tidak ramah lingkungan, hingga isu orangutan.
“Semua isu itu adalah rekayasa NGO. Kita dari pengusaha tidak terpengaruh. Makanya, hati-hati merespons isu orangutan ini,” terang Dato' Mamat Saleh. (Bsi)
“Bisa saja tengkorak itu bukan lantaran pembantaian, tapi karena berkelahi dengan sesama orangutan, atau dia mati karena sudah tua. Jadi jangan buru-buru diklaim hal itu sebagai bukti pembantaian. Itu salah besar,” tuturnya.Sementara, Ketua Persatuan Minyak Sawit Malaysia (MPOA), Dato' Mamat Saleh juga mengakui bahwaiisu orangutan adalah permainan NGO. Isu yang digulirkan NGO macam-macam.
Mulai isu produk sawit berkadar kolesterol tinggi, gas rumah kaca, lahan gambut, tidak ramah lingkungan, hingga isu orangutan.
“Semua isu itu adalah rekayasa NGO. Kita dari pengusaha tidak terpengaruh. Makanya, hati-hati merespons isu orangutan ini,” terang Dato' Mamat Saleh. (Bsi)
Prospek Minyak Kelapa Sawit Dunia.
Peningkatan
imbal hasil akibat permintaan minyak nabati yang tinggi secara global
diperkirakan akan meningkatkan penanaman modal di industri minyak sawit, yang
menyebabkan pertumbuhan berkelanjutan dalam jangka menengah, karena konsumsi
dunia diperkirakan meningkat lebih dari 30 persen pada dasawarsa mendatang.
Menjelang 2020, konsumsi dunia dan produksi minyak
sawit diperkirakan sudah meningkat menjadi hampir 60 juta ton. Sifat-sifat
menyehatkan dan daya saing harga minyak sawit, dibarengi potensi perannya dalam
energi terbarukan, diperkirakan ikut menyebabkan pertumbuhan lebih dari 30
persen pada dasawarsa mendatang. Selama ini pertumbuhan industri minyak sawit
disebabkan oleh keunggulan biaya produksi dalam budidaya kelapa sawit. Kelapa
sawit adalah tanaman pohon yang sangat produktif jika dibandingkan dengan biji
minyak nabati – hasil minyaknya 5 hingga 9 kali lebih tinggi daripada hasil
yang dicapai oleh kedelai, canola, dan bunga matahari. Biaya minyak sawit lebih
unggul karena harga lahan yang rendah serta masukan energi yang rendah.
Di saat negara maju beralih dari lemak-trans ke
alternatif yang lebih sehat, permintaan minyak sawit juga akan cenderung
meningkat, relatif terhadap para pesaingnya. Dalam beberapa tahun terakhir,
banyak negara maju mengurangi dan melarang lemak-trans
sehingga banyak pabrik makanan mengganti lemaktrans
dengan minyak sawit. Selain daya saing dari segi biaya, minyak sawit kaya akan
lemak-mono-tak-jenuh yang dipandang bermanfaat menurunkan risiko penyakit
jantung.
Selain peningkatan total dalam keseluruhan konsumsi,
konsumsi minyak sawit per kapita pun terus meningkat di beberapa negara maju
besar akibat pertumbuhan pendapatan yang mantap.
Minyak sawit memetik keuntungan dari perkembangan ini
karena energinya yang relatif tinggi per gram makanan. Pada 2009-10, Cina dan
India membukukan lebih dari 40 persen impor neto dalam perdagangan dunia.
Pertumbuhan ekonomi di kedua negara ini di masa mendatang akan meningkatkan
permintaan minyak nabati impor.
Apa yang bisa di banggakan dari Indonesia? di sektor olah raga untuk tingkat olimpiade tidak pernah masuk 20
besar dunia, sepak bola indonesia berada di peringkat 143 dunia dengan konflik
PSSI tidak yang tidak berujung, pemberantasan
korupsi masuk 10 besar didunia dalam hal negara terkorup, dibidang kekuatan
militer jangankan di dunia,di Asia Tenggara saja kalah sama Malaysia dan
Singapura. Untuk rencana beli tank bekas jerman leopard saja dari belanda
parlemen belanda harus bersidang untuk menyetujui hal tersebut dengan alasan
karena indonesia terkenal buruk dengan pelanggaran HAM,di bidang otomotif
nyaris semua kendaraan impor dan pemberantasan kemiskinan masih ada sekitar 30
juta yang miskin dan pemerintah hanya mampu memberantas kemiskinan 1-2% dari penduduk
miskin setiap tahunnya. Namun di balik semua kelemahan yang ada tanpa banyak
publikasi media Indonesia ternyata sudah juara 1 di dunia di bidang
perkebunan kelapa sawit dari tahun 2007. Faktaya
Indonesia menguasai pasar CPO (crude palm oil) atau minyak mentah sawit
pada tahun 2011 menguasai pasar dunia 47 %,malaysia 39 % dan
selebihnya di produksi oleh Negara Thailand dan Papua Nugini (Benua
Asia),Kolombia,Ekuator,dan Brasil (Amerika Tengah),Pantai
Gading,Benin,Gambia,Guinea Bissau,Liberia,Senegal,Togo, dan Sierra Leon (Benua
Afrika).Dari total seluruh produksi CPO tahun 2011 dengan jumlah 46 juta ton
yang di hasilkan dari lebih kurang 12 juta hektar kelapa sawit di seluruh
dunia,Indonesia berkontribusi sebanyak 7,5 juta hektar,tidak terbantahkan dari
Produksi dan luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia “Juara 1″ di Dunia
dan mungkin perintis pertama perkebunan kelapa sawit di indonesia secara
komersial pada tahun 1911 oleh Adrian Hallet (orang belgia) tidak
menyangka 1 abad akan akan datang Indonesia menjadi produsen utama kelapa
sawit dunia.
Perkebunan kelapa sawit Indonesia menyerap tenaga kerja lebih
kurang 10 juta orang baik yang
bekerja dari Industri hilir dan Industri hulu perkebunan kelapa sawit yang
secara langsung maupun tidak langsung. Secara Makro ekonomi kelapa sawit
berkontribusi terhadap Indonesia sebesar $ 16,5 milyar atau sekitar 160 triliun
per tahun dan kelapa sawit juga berkonstribusi besar terhadap pembangunan di
daerah dan kesejahteraan masyarakat serta pemberantasan kemiskinan. Kelapa
sawit juga menguasai produksi minyak nabati dunia sebanyak 30 %,minyak
kedelai (29%),Minyak Biji Rape (24%),Bunga matahari(8%) dan minyak
lainnya(19%). Bahkan ke depan industri kelapa sawit akan berkembang sesuai
dengan pertumbuhan penduduk dunia dimana konsumsi minyak nabati perkapita
perorang di dunia di perkirakan rata-rata 25 kg/thn.
Namun perkembangan produksi kelapa sawit di Indonesia menghadapi
tantangan berat, bukan “rahasia umum” lagi perkebunan kelapa sawit Indonesia
terutama terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit selalu mendapat
“serangan dan isu tidak sedap” dari LSM baik lokal maupun Internasional di
karenakan pembukaan kelapa sawit diIndonesia merusak lingkungan,membunuh orang
utan,pembakaran hutan,hak penduduk lokal tidak dihormati,pemiskinan penduduk
lokal,pembuangan limbah,pengunaan pestisida berlebihan dan merusak habitat
serta ekosistem. Ibarat pepatah “semakin tinggi pohon maka semakin kencang
angin yang yang berhembus” itulah hal yang berlaku di industri perkebunan
kelapa sawit. Namun seharusnya stokeholder/pemilik modal dan pekerja di
perkebunan kelapa sawit ‘ berterima kasih” dengan adanya ’serangan’ dari
berbagai LSM lokal maupun Internasional karena tanpa susah payah LSM lokal dan
internasional telah menunjukkan kelemahan industri kelapa sawit,untuk
memenangkan “peperangan” menurut Lao tzu ahli strategi perang cina ‘ untuk
memenangkan pertempuran kita harus mengetahui keunggulan dan kelemahan diri
kita sendiri sebelum menilai. kelebihan dan kelemahan musuh’. Memang setelah Moratorium Oslo perkembangan kelapa sawit sedikit
terhambat dikarenakan izin pembukaan kelapa sawit sangat terbatas perkebunan
kelapa sawit kebagian “lahan marjinal’ untuk pembukaan kelapa sawit tapi itu
bukan kendala dengan kultur teknis yang baik laju perkembangan kelapa sawit
tidak terbendung.Dengan segala tekanan dan hambatan yang ada,akhirnya
perkebunan kelapa sawit menemukan cara untuk mengatasi hal dengan adaya
sertifikasi Baik RSPO (Roundtable On Sustainable Palm Oil), ISPO (Indonesia
Sustainable Palm Oil),ISO 9001 untuk operasional terbaik dan ISO 14001 untuk
managemen lingkungan.Dengan Adaya berbagai sertifikasi yang pada intinya
merupakan komitmen dan tanggung jawab industri kelapa sawit dalam
mensinergiskan pencapaian PROFIT(keuntungan),mensejahterakan PEOPLE (masyarakat
sekitar dan karyawan perkebunan kelapa sawit)serta menjaga kelestarian PLANET
(lingkungan) untuk generasi masa depan.Memang untuk menjalankan dan mendapatkan
sertifikasi dibutuhkan “tambahan modal” untuk menjalankan kebijakan tersebut,
dibidang lingkungan perusahaan harus ‘zero burning’ tanpa bakar pembukaan lahan
dalam dalam pembukaan lahan,menjalankan AMDAL dan
EHS(Environmental,Health, dan Safety) sesuai kebijakan pemerintah,menyiapkan
buffer zone/areal penyangga,tidak menggunakan bahan kimia secara
berlebihan,pengendalian hama dan penyakit di usahakan secara pengendalian
biologi sebagai contoh untuk mengatasi hama tikus dilakukan dengan Burung hantu
dan di bidang masyarakat harus menyiapkan pola plasma dengan masayarakat
sekitar sesuai aturan yang berlaku,menjalankan UMR sesuai keputusan bersama dan
mengikuti hukum yang berlaku diIndonesia Dengan adaya sertifikasi yang di
akui secara nasional maupun internasional maka terjadi “win-win solution”
antara semua pihak yang berkepentingan di industri kelapa sawit.
INILAH.COM, Bandung -
Menteri Koordinasi Perekonomian Hatta Rajasa mengajak masyarakat melawan isu
negatif yang kerap melanda industri pembuatan minyak kelapa sawit (Crude Palm
Oil/CPO).
Seperti diketahui, industri kelapa sawit kerap
dianggap kambing hitam dari kasus pembabatan hutan serta pembantaian orang
hutan."Kalau ada isu negatif yang merugikan CPO harus dilawan jangan
dibiarkan," ujar Hatta Rajasa usai Munas VIII Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia (GAPKI) di The Trans Luxury Hotel, Jalan Gatot Subroto Kota
Bandung, Kamis (12/4/2012).Menurut Hatta, para pengusaha jangan merasa
ketakutan melawan isu-isu negatif dengan cara melaporkan ke World Trade
Organization (WTO). Selain itu, para pengusaha juga bisa melakukan penjelasan
secara bilateral. "Jangan takut, kita jelaskan kepada mereka asal punya
data yang akurat," tegasnya.Hatta mencontohkan, Amerika menganggap CPO
Indonesia memiliki emisi yang melampaui ambang batas yang telah ditentukan.
Padahal, informasi negatif tentang CPO Indonesia tersebut tidak benar. Untuk
diketahui, Amerika menolak mengimpor minyak kelapa sawit dari Indonesia dengan
alasan emisi diluar ambang batas. "Kita sudah berupaya menyampaikan secara
bilateral, seharusnya pada tanggal 21 ini," bebernya.
Untuk itu, pihaknya menghimbau kepada para pengusaha kelapa sawit menerapkan prinsip-prinsip Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Hal tersebut dilakukan untuk mementahkan berbagai isu negatif yang mengganggu kegiatan perdagangan kelapa sawit. "Harus ada keadilan jangan ada diskriminasi," pungkasnya.[ang]
Untuk itu, pihaknya menghimbau kepada para pengusaha kelapa sawit menerapkan prinsip-prinsip Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Hal tersebut dilakukan untuk mementahkan berbagai isu negatif yang mengganggu kegiatan perdagangan kelapa sawit. "Harus ada keadilan jangan ada diskriminasi," pungkasnya.[ang]
Para anggota
Komisi Minyak Kelapa Indonesia (Indonesian Palm Oil Commission/IPOC) sedang
mendistribusikan hal-hal yang salah dalam mengemukakan sesuatu yang benar,
menurut beberapa orang yang telah melihat presentasi dari anggota komisi
tersebut. Para pegawai ini rupanya berpendapat bahwa perkebunan kelapa sawit
menyimpan berkali-kali lipat lebih banyak CO2 daripada hutan alami, dan
karenanya mengubah
APAKAH INDUSTRI KELAPA SAWIT
MENGUNTUNGKAN MASYARAKAT ?
hutan untuk
perkebunan adalah cara terbaik untuk melawan perubahan iklim.
Dalam membuat pernyataan semacam itu, para representatif Indonesia secara nyata mengabaikan data yang menunjukkan sebaliknya, meletakkan kredibilitas dari industri kelapa sawit dalam resiko, dan merusak usaha-usaha untuk memperlambat penggundulan hutan dan pengendalian dalam emisi gas rumah kaca.Sebuah pamflet yang disebarkan oleh IPOC menyatakan: "Dibandingkan dengan hutan tropis, perkebunan kelapa sawit memiliki [sic] beberapa kelebihan ramah lingkungan, perkebunan menyimpan lebih banyak karbon dioksida (CO2) dan melepaskan lebih banyak oksigen (O2) dibandingkan dengan hutan tropis, yang mana ini menguntungkan bagi lingkungan." Beberapa ilmuwan akan mendukung pernyataan bahwa perkebunan kelapa sawit melepas lebih banyak karbon dibandingkan dengan hutan tropis alami. Bahkan, beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit, jika dibangun di daerah lahan gambut dan hutan alami, menghasilkan lebih banyak emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan hutan alami. Jika penggunaan pupuk dan emisi dari proses dimasukkan ke dalam perhitungan, dampak pada iklim dari pengubahan hutan alami untuk kelapa sawit bahkal lebih besar lagi. Seperti kasus pada tumbuhan apapun, pohon-pohon kelapa sawit memang menyita karbon karena saat mereka tumbuh - karbon adalah blok pertumbuhan dasar dalam jaringan tumbuhan. Walau demikian, proses penggundulan hutan dalam rangka mendirikan sebuah perkebunan melepaskan lebih banyak karbon dibandingkan yang akan digunakan oleh kelapa sawit-kelapa sawit yang tumbuh. Jadi, sementara sebuah perkebunan kelapa sawit baru akan tumbuh lebih cepat - dan menyita karbon lebih tinggi pada hitungan tahunan - dibandingkan dengan hutan alami yang terus beregenerasi, pada akhirnya, perkebunan minyak ini akan tetap menyimpan lebih sedikit karbon (50-90 persen lebih rendah dalam 20 tahun) dari pada kawasan hutan aslinya.Pelepasan karbon bahkan lebih tinggi jika perkebunan didirikan di lahan gambut, yang menyimpan karbon dalam jumlah banyak namun melepasnya saat mereka kekurangan air. (terbuka karena udara, gambut secara cepat beroksidasi, dekomposisasi, dan melepaskan karbon dioksida.)
Dalam membuat pernyataan semacam itu, para representatif Indonesia secara nyata mengabaikan data yang menunjukkan sebaliknya, meletakkan kredibilitas dari industri kelapa sawit dalam resiko, dan merusak usaha-usaha untuk memperlambat penggundulan hutan dan pengendalian dalam emisi gas rumah kaca.Sebuah pamflet yang disebarkan oleh IPOC menyatakan: "Dibandingkan dengan hutan tropis, perkebunan kelapa sawit memiliki [sic] beberapa kelebihan ramah lingkungan, perkebunan menyimpan lebih banyak karbon dioksida (CO2) dan melepaskan lebih banyak oksigen (O2) dibandingkan dengan hutan tropis, yang mana ini menguntungkan bagi lingkungan." Beberapa ilmuwan akan mendukung pernyataan bahwa perkebunan kelapa sawit melepas lebih banyak karbon dibandingkan dengan hutan tropis alami. Bahkan, beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit, jika dibangun di daerah lahan gambut dan hutan alami, menghasilkan lebih banyak emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan hutan alami. Jika penggunaan pupuk dan emisi dari proses dimasukkan ke dalam perhitungan, dampak pada iklim dari pengubahan hutan alami untuk kelapa sawit bahkal lebih besar lagi. Seperti kasus pada tumbuhan apapun, pohon-pohon kelapa sawit memang menyita karbon karena saat mereka tumbuh - karbon adalah blok pertumbuhan dasar dalam jaringan tumbuhan. Walau demikian, proses penggundulan hutan dalam rangka mendirikan sebuah perkebunan melepaskan lebih banyak karbon dibandingkan yang akan digunakan oleh kelapa sawit-kelapa sawit yang tumbuh. Jadi, sementara sebuah perkebunan kelapa sawit baru akan tumbuh lebih cepat - dan menyita karbon lebih tinggi pada hitungan tahunan - dibandingkan dengan hutan alami yang terus beregenerasi, pada akhirnya, perkebunan minyak ini akan tetap menyimpan lebih sedikit karbon (50-90 persen lebih rendah dalam 20 tahun) dari pada kawasan hutan aslinya.Pelepasan karbon bahkan lebih tinggi jika perkebunan didirikan di lahan gambut, yang menyimpan karbon dalam jumlah banyak namun melepasnya saat mereka kekurangan air. (terbuka karena udara, gambut secara cepat beroksidasi, dekomposisasi, dan melepaskan karbon dioksida.)
"Emisi dari pengubahan hutan jelas mempercepat fiksasi
potensial karbon dari penanaman kelapa sawit," Germer dan Sauerborn
menulis dalam makalah tahun 2007 yang dicetak dalam jurnal Environment,
Development and Sustainability. "Pengubahan hutan pada tanah bermineral
untuk mengembangkan panen tunggal kelapa sawit menyebabkan bersihnya pelepasan
650 Mg karbon dioksida ekuivalen per hektar, sementara emisi dari pengubahan
hutan gambut lebih tinggi karena dekomposasi dari gambut kering dan penghasilan
emisi dari karbon oksid dan nitro oksid."
Germer dan Sauerborn melanjutkan: "Pengubahan dari satu hektar hutan pada gambut melepaskan lebih dari 1.300 Mg karbon dioksida ekuivalen selama putaran 25 tahun pertama pertumbuhan kelapa sawit. Bergantung pada kedalaman gambut, dekomposasi secara terus-menerus memperbanyak emisi dengan setiap tambahan putaran sebesar 800 Mg karbondioksida ekuivalen per hektar." Meine van Noordwijk dari World Agroforestry Center (ICRAF) mengatakan bahwa pernyataan industri tentang superioritas karbon untuk perkebunan jatuh saat mereka melihat gambaran besarnya. Sementara masa hidup rata-rata dari perkebunan kelapa sawit di bawah 30-40 tahun. Pada tanah gambut, keseimbangan karbon bahkan lebih tidak baik bagi perkebunan kelapa sawit karena emisi dari pengeringan. Van Noordwijk menambahkan: "Stok karbon bawah tanah di lahan gambut mungkin saja ribuan dari t C/ha, dan yang dilepaskan mungkn 30-50 t C/ha/tahun - jadi penyerapan di atas tanah dengan pertumbuhan cepat bubur kertas atau kelapa sawit hanya 10 persen dari kehilangan dari gambut secara bersamaan. Adalah suatu eksperimen besar dalam fertilisasi CO2 jika Anda menumbuhkan pepohonan di gambut yang telah dikeringkan sedalam 80 cm sesuai standar praktek di Indonesia." Data dari Wetlands International, sebuah kelompok lingkungan hidup terkemuka yang telah mengeluarkan penelitian yang banyak dipuji tentang emisi dari degradasi dan perusakan lahan gambut, menunjukkan bahwa produksi darisatu ton minyak kelapa di lahan gambut menghasilkan emisi karbon dioksida hingga 33 ton. Wetlands International memperkirakan bahwa 1,5 juta hektar dari minyak kelapa yang ditanam di lahan gambut di Indonesia menyumbangkan 100 ton emisi karbon dioksida per hektar, hanya dari pengeringan saja.
Sementara data menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit bukanlah bandingan bagi hutan alami dalam hal penyimpanan karbon, minyak kelapa masih dapat berperan dalam usaha pengurangan emisi gas rumah kaca. Kelapa saawit adalah satu dari bibit minyak yang paling produktif di dunia - dalam ukuran berdasar per unit area, biodiesel dihasilkan dari kelapa sawit jauh melampaui bio diesel konvensional seperti jagung, kedelai, bibit gula rapeseet, dan tebu.
Dengan kata lain, menggunakan kelapa sawit sebagai sumber biodiesel akan membutuhkan lebih sedikit lahan konversi untuk stok bioenergi dibanding sumber lain, dan menyisakan lebih banyak lahan untuk digunakan kepentingan lain, termasuk konservasi. Kunci untuk memaksimalkan keuntungan potensial dari minyak kelapa adalah dengan mendirikan perkebunan di sepuluh dari ribuan hektar lahan sisa yang ditinggalkan dan sudah terlanjur gundul, sementara melindungi lahan gambut dan hutan alami negara yang masih ada untuk keanekaragaman hayati, penyimpan karbon, dan kegunaan ekosistem lainnya. Untuk menjadikannya kenyataan, pemerintah Indonesia, produsen minyak kelapa, dan konsumen minyak kelapa harus bekerja sama untuk membangun sebuah mekanisme pelacakan rantai persediaan yang transparan dan kuat untuk minyak kelapa atau paling tidak untuk memastikan bahwa hutan alami dan lahan gambut tidak diubah untuk produksi. Meski dapat dimengerti bahwa industri minyak kelapa ingin menggambarkan dengan cara yang terbaik, kepentingan utama mereka seharusnya terletak pada menjalankan usaha-usaha ini daripada mencoba menipu masyarakat. Taktik seperti itu di masa depan dapat justru menghasilkan serangan balik dari konsumen. Penulis adalah enterpreneur Amerika Serikat dengan latar belakang ekonomi. Dia dapat dihubungi di mongabay.com
Germer dan Sauerborn melanjutkan: "Pengubahan dari satu hektar hutan pada gambut melepaskan lebih dari 1.300 Mg karbon dioksida ekuivalen selama putaran 25 tahun pertama pertumbuhan kelapa sawit. Bergantung pada kedalaman gambut, dekomposasi secara terus-menerus memperbanyak emisi dengan setiap tambahan putaran sebesar 800 Mg karbondioksida ekuivalen per hektar." Meine van Noordwijk dari World Agroforestry Center (ICRAF) mengatakan bahwa pernyataan industri tentang superioritas karbon untuk perkebunan jatuh saat mereka melihat gambaran besarnya. Sementara masa hidup rata-rata dari perkebunan kelapa sawit di bawah 30-40 tahun. Pada tanah gambut, keseimbangan karbon bahkan lebih tidak baik bagi perkebunan kelapa sawit karena emisi dari pengeringan. Van Noordwijk menambahkan: "Stok karbon bawah tanah di lahan gambut mungkin saja ribuan dari t C/ha, dan yang dilepaskan mungkn 30-50 t C/ha/tahun - jadi penyerapan di atas tanah dengan pertumbuhan cepat bubur kertas atau kelapa sawit hanya 10 persen dari kehilangan dari gambut secara bersamaan. Adalah suatu eksperimen besar dalam fertilisasi CO2 jika Anda menumbuhkan pepohonan di gambut yang telah dikeringkan sedalam 80 cm sesuai standar praktek di Indonesia." Data dari Wetlands International, sebuah kelompok lingkungan hidup terkemuka yang telah mengeluarkan penelitian yang banyak dipuji tentang emisi dari degradasi dan perusakan lahan gambut, menunjukkan bahwa produksi darisatu ton minyak kelapa di lahan gambut menghasilkan emisi karbon dioksida hingga 33 ton. Wetlands International memperkirakan bahwa 1,5 juta hektar dari minyak kelapa yang ditanam di lahan gambut di Indonesia menyumbangkan 100 ton emisi karbon dioksida per hektar, hanya dari pengeringan saja.
Sementara data menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit bukanlah bandingan bagi hutan alami dalam hal penyimpanan karbon, minyak kelapa masih dapat berperan dalam usaha pengurangan emisi gas rumah kaca. Kelapa saawit adalah satu dari bibit minyak yang paling produktif di dunia - dalam ukuran berdasar per unit area, biodiesel dihasilkan dari kelapa sawit jauh melampaui bio diesel konvensional seperti jagung, kedelai, bibit gula rapeseet, dan tebu.
Dengan kata lain, menggunakan kelapa sawit sebagai sumber biodiesel akan membutuhkan lebih sedikit lahan konversi untuk stok bioenergi dibanding sumber lain, dan menyisakan lebih banyak lahan untuk digunakan kepentingan lain, termasuk konservasi. Kunci untuk memaksimalkan keuntungan potensial dari minyak kelapa adalah dengan mendirikan perkebunan di sepuluh dari ribuan hektar lahan sisa yang ditinggalkan dan sudah terlanjur gundul, sementara melindungi lahan gambut dan hutan alami negara yang masih ada untuk keanekaragaman hayati, penyimpan karbon, dan kegunaan ekosistem lainnya. Untuk menjadikannya kenyataan, pemerintah Indonesia, produsen minyak kelapa, dan konsumen minyak kelapa harus bekerja sama untuk membangun sebuah mekanisme pelacakan rantai persediaan yang transparan dan kuat untuk minyak kelapa atau paling tidak untuk memastikan bahwa hutan alami dan lahan gambut tidak diubah untuk produksi. Meski dapat dimengerti bahwa industri minyak kelapa ingin menggambarkan dengan cara yang terbaik, kepentingan utama mereka seharusnya terletak pada menjalankan usaha-usaha ini daripada mencoba menipu masyarakat. Taktik seperti itu di masa depan dapat justru menghasilkan serangan balik dari konsumen. Penulis adalah enterpreneur Amerika Serikat dengan latar belakang ekonomi. Dia dapat dihubungi di mongabay.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar